Loading

Bagaimana Hukumnya Membaca Manaqib ?


Tanya :
Bagaimana hukumnya baca manaqib?

KH. Bisri Musthofa :
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.

Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?

Tanya :
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.

KH. Bisri Musthofa :
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misalnya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Tanya :
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?

KH. Bisri Musthofa :
Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?

Tanya :
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?

KH. Bisri Musthofa :
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.

Tanya :
Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?

KH. Bisri Musthofa :
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)

Tanya :
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?

KH. Bisri Musthofa :
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.

Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.

Tanya :
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?

KH. Bisri Musthofa :
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara.

Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.

Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.

Tanya :
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim

Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)

Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)

Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.

KH. Bisri Musthofa :
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:

Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?

Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?

Semoga kiranya risalah yang kecil ini bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshowab.

Downlolad Ebooknya disini

Sunnah Dzikir Setelah Shalat

Para ulama sedunia telah sepakat bahwa sunnat hukumnya bagi kaum muslimin untuk melakukan dzikir setelah selesai sholat fardhu lima waktu. Bahkan, juga disunnatkan membaca dzikir-dzikir setelah selesai melakukan sholat-sholat sunnat. Ada banyak sekali hadis-hadis Nabi yang shahih berkenaan dengan dzikir setelah selesai melaksanakan sholat. Sedangkan lafazh-lafazh (bacaan-bacaan) dzikir yang diajarkan pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
Dalil yang masyhur tentang dzikir dan doa setelah selesai sholat adalah hadis dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan: “Telah ditanyai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kapankah doa didengar (dimustajabkan) oleh Allah?” Rasul menjawab: “Doa yang dilakukan di tengah malam dan setelah selesai melaksanakan sholat fardhu lima waktu (Hadis Riwayat Imam Turmidzi, hasan shahih).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menunjukkan kepada kita bahwa dzikir setelah selesai sholat itu sunnat hukumnya dan dilakukan dengan mengeraskan suara. Nabi dan para Sahabat melakukan dzikir dengan suara keras ini pada zaman Nabi masih hidup. Dengan demikian tuduhan bahwa berdzikir dengan suara keras adalah perbuatan bid’ah sama sekali tidak ada dasarnya. Malah perbuatan yang sunnah adalah mengeraskan suara saat berdzikir setelah selesai sholat lima waktu itu.
Ada juga sebahagian kecil kaum muslimin yang mengatakan bahwa jika selesai sholat fardhu orang-orang melakukan dzikir bersuara, maka hal ini akan mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang ingin melaksanakan sholat sunnat. Perkataan mereka itu hanya pendapat akal semata, dan tidak ada landasan hadisnya sama sekali. Sayangnya, meskipun hanya berdasarkan pendapat akal saja, mereka berani melarang orang untuk berdzikir dengan bersuara keras di masjid-masjid. Padahal kalau dilihat pada hadis Nabi, melarang orang melakukan dzikir dengan bersuara di masjid justru merupakan perbuatan yang melanggar sunnah Nabi, karena tidak didapati sepotong hadis pun yang Nabi melarang umat melakukan dzikir bersuara itu.
Perkataan mereka yang mengatakan dzikir itu mengganggu orang sholat sunnat juga keliru, sebab Nabi telah mengajarkan agar setelah selesai sholat fardhu, afdholnya kaum muslimin berdzikir terlebih dahulu, bukan langsung buru-buru melakukan sholat sunnat tanpa berdzikir terlebih dahulu. Tegasnya, dzikir setelah selesai sholat adalah perintah Nabi! Lantas bagaimana perbuatan yang hanya didasarkan pada pendapat akal dapat diterima, sampai dipakai pula untuk tmenggusur sunnah Nabi yang ada dalam hadis-hadis shahih…..?
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, saudara sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menceritakan sebuah hadis yang shahih. Hadis itu berbunyi, “Kami mengetahui Nabi dan para Sahabatnya telah selesai mengerjakan sholat fardhu di masjid dengan mendengar suara takbir mereka……”(Hadis Riwayat Bukhari Muslim). Dalam hadis yang lain, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Adalah berdzikir dengan mengeraskan suara setelah selesai mengerjakan sholat fardhu telah dilakukan pada zaman Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan aku mengetahui mereka telah selesai mengerjakan sholat fardhu itu karena mendengar suara dzikirnya itu.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim, Lihat kitab Al Adzkar Imam Nawawi, halaman 77).
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar suara Nabi dan Sahabat berdzikir sampai terdengar ke rumah beliau tentu karena suara dzikir itu keras. Jika dzikirnya tidak bersuara, bagaimana mungkin beliau mendengar suara dzikir tersebut? Saat mendengarkan suara dzikir Nabi dan para Sahabat, diyakini Abdullah bin Abbas saat itu masih kecil dan belum ikut sholat berjama’ah ke Masjid Nabawi.
Keterangan dalil berdzikir bersuara ini telah dibahas secara panjang lebar oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, dalam Kitab Fathul Bari, Syarah Hadis Bukhari, Jilid II, halaman 591-610. Dan seorang ulama salafy, Syekh Utsaimin pun sudah mengakui sunnah hukumnya berdzikir bersuara itu dalam kitab Ensiklopedi Bid’ah. Namun, meskipun demikian, jika ada yang mau mengerjakan dzikir itu tanpa bersuara, menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah masih merupakan amalan sunnah juga.
Beberapa bacaan-bacaan dzikir dan doa yang telah dibuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa hidup beliau, antara lain:
  1. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan bahwa Rasulullah beristighfar (membaca astaghfirullahal ‘azhim) tiga kali setiap selesai sholat. Kemudian Nabi membaca doa, “Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya dzaljalali wal Ikram.” (Ya Allah Engkaulah Assalam, dan dari Engkaulah segala Keselamatan, Maha Mulia Engkau Wahai Yang Memiliki Keperkasaan dan Kemuliaan). (Hadis Riwayat Imam Muslim).
  2. Dari Al Harits at Tamimi radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullah telah mengajarkan kepadanya secara diam-diam (berbisik): “Apabila engkau telah selesai mengerjakan sholat magrib, maka bacalah olehmu, “Allahumma ajjirni minannaar” (Ya Allah selamatkan aku daripada azab neraka) sebanyak 7 kali, karena apabila engkau mati pada malam itu ketika engkau telah membaca doa tadi, maka wajib atasmu apa yang kau minta itu. Apabila engkau selesai sholat subuh maka bacalah doa yang sama sebanyak 7 kali, karena sesungguhnya jika engkau mati di siang harinya, maka wajiblah atasmu apa yang engkau minta (yakni kebebasan dari neraka).” (Hadis Riwayat Muslim dan Abu Dawud).
  3. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila telah selesai mengerjakan sholat dan memberi salam maka Beliau berdoa: “Laa ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa ‘ala kulli sya-in qadir.” (Tiada Tuhan yang disembah selain Allah, Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nyalah segala kekuasaan, dan bagiNyalah segala Pujian, dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa). (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Tetapi ada tambahan kalimat yuhyi wa yumit (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan), setelah kata wa lahulhamdu. Bacaan ini sudah biasa diamalkan oleh kaum muslimin di Indonesia selama ratusan tahun pula. Amalan dan tambahan kalimat itu dikutip dari Hadis Riwayat Imam Turmudzi, Hasan Shohih. Hal ini penting kami tuliskan karena ada segelintir umat Islam yang rajin menuduh bid’ah kepada orang yang menambahkan kalimat yuhyi wa yumit itu, padahal sebenarnya tambahan kalimat ini justru sunnah Nabi, bukan bid’ah!
  4. Kemudian Nabi membaca doa: “Allahumma laa mani’a lima a’thaita, wa laa mu’thiya lima mana’ta wa laa yanfa’ul jad minkal jad.” (Ya Allah,tiada yang dapat mencegah akan apa yang telah Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi akan apa yang telah Engkau cegah. Dan tidak memberi manfaa orang yang memiliki kesungguhan, karena kesungguhan adalah dari Engkau. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
  5. Kemudian Nabi juga ada membaca doa: ”La hawla wala quwwata illa billahi, la ilaha illah wa la na’budu illa iyyahu, lahunni’matul walfadhlu walahutstsina-ul hasanu, La ilaha illah mukhlishina lahuddina, walaukarihal kafirun.” (Hadis Riwayat Muslim). Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi menyuarakan takbir ini setiap selesai sholat lima waktu. Ini juga merupakan salah satu lagi dalil berdzikir bersuara (jahar) setelah sholat fardhu. (Lihat Al-Adzkar, Imam Nawawi halaman 77).
  6. Rasulullah ada mengajarkan para shahabat yang miskin-miskin untuk melakukan dzikir setelah sholat fardhu: “Ucapkanlah olehmu, “Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar setelah selesai sholat fardhu sebanyak 33 kali”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadis ini lebih dijelaskan lagi dalam syarah hadis Abu Sholih yakni orang yang meriwayatkan hadis ini langsung dari Abu Hurairah bahwa cara mengerjakannya adalah sekaligus digabungkan/disatukan seperti ini: “Subhanallah…walhamdulillah…wallahu Akbar…semuanya total berjumlah 33 kali. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi telah bersabda: “Senantiasa tidak kecewa orang yang membaca dzikir setelah sholat fardhu dengan kalimat; Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali.” (Hadis Riwayat Muslim). Dzikir ini dibuat secara terpisah, tidak bergabung menjadi satu seperti amalan hadis yang sebelumnya.” Meskipun cara ini sedikit berbeda, namun tetap sunnah dan telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam hadis yang lain dikatakan setelah membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, maka hendaklah disempurnakan menjadi seratus kali dengan kalimat, ; “La ilaha illallah wahdahu laa syarikalah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir”. Maka siapa yang melakukan hal ini akan diampunkan Allah seluruh dosa-dosanya walau dosanya sebanyak buih di lautan. (Hadis Riwayat Muslim).
  7. Dan diriwayatkan dalam kitab Ibnu Sunni oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu telah berkata dia: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai mengerjakan sholatnya, maka Beliau mengusap keningnya dengan tangan kanannya kemudian beliau membaca, “Asyhadu anlaa ilaaha illallah, arrahmaanurrahim, Allahummadz hib ‘annil hamma wal hazan.” (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani, Ya Allah buanglah daripadaku kegunda-gulanaan dan kesedihan).
  8. Dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Nasai dari Mu’adz bin radhiyallahu ‘anhu: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memegang tanganku seraya Nabi bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Kemudian Beliau menyambung ucapannya lagi, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, janganlah engkau meninggalkan bacaan dzikir ini setelah selesai melakukan sholat. Ucapkanlah olehmu, “Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.” (Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingatMu dan bersyukur kepadaMu dan beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya).
Wallahu A’lam Bishshowab

Shalat Tarawih 20 Rakaat


Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.
Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba'diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, “Marilah shalat Tarawih berjama'ah!” Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur.
Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan “bilal” dan dijawab oleh segenap kaum muslimin.

Begitu shalat tarawih sampai rakaat kedua puluh, bacaan surat sesudah al-Fatihah tentu sudah sampai ke surat al-Lahab dan al-Ikhlash. Tinggal shalat witirnya yang biasa dilakukan 2 rakaat, dan yang kedua satu rakaat, imam biasanya memilih surat al-A’la dan al-Kafirun.

Para imam Tarawih NU umumnya memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan..” Maka, 23 rakaat umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.

Lain halnya shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur’an. Setiap malam harus diselesaikan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur'an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yang menurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa sampai 15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjang itu, meski di luar shalat sekalipun.

Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir.

Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, hlm 54 disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.

Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:
خَشِيْتُ أَنْ تَفَرَّضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيْقُونَهَا
Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”
Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan rakaatnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)

KH MUnawwir Abdul Fattah
Pesantren Krapyak Yogyakarta



www.nu.or.id

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya


Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.

Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:

أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah.

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah".

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:

وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

www.nu.or.id

Qunut Nazilah

Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran untuk melakukan qunut nazilah. Apakah qunut nazilah ini dan bagaiman cara melakukannya? Apa bedanya dengan qunut Subuh?


Di dalam bahasa Arab, "qunut" semula bisa berarti tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian digunakan untuk berdoa tertentu di dalam shalat.


Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus.


Qunut nazilah sendiri adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Qura’ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al-Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.


Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah. Jika kita biasa melakukan qunut Subuh atau qunut Witir, maka melakukan qunut nazilah ya seperti itu.


Menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam.


Jadi, qunut nazilah sama dengan qunut Subuh. Bacaannya juga sama seperti doa yang datang dari Rasulullah SAW. dan populer itu:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافيْتَ, وَتوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا قضَيْتَ, فإنَّكَ تَقْضِى وَلا ُيُقْضَى عَلَيْكَ, فإنَّهُ لا يَذِلُُ مَنْ وَالَيتَ, وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, أسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إلَيْكَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Hanya dalam qunut nazilah dapat ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka di Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh ini, atau serangan Israel ke Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.


KH A Mustofa Bisri
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang, Mustasyar PBNU (Tanya jawab Gus Mus tentang Qunut Nazilah juga pernah dimuat www.pesantrenvirtual.com)
www.nu.or.id

Fasal tentang Doa Qunut

Doa qunut ada tiga macam. Pertama, doa Qunut Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung dan lainnya.


Qunut Nazilah ini mencontoh Rasulullah SAW Yang memanjatkan doa Qunut Nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi SAW yang hafal al Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa “Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).


Kedua, qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.


Ketiga, doa qunut pada raka’at kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa ia pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ

Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunnah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi) dilakukan pada raka’at yang kedua shalat Shubuh. Sebab Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada rakaat kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd Raziq) Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ القَُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ

Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulma’ salaf”. (al-Majmu’, juz 1 : 504)

Penulis berpendapat tentang bagaimana dua hadits tentang doa qunut pada shalat Shubuh yang tampa’ tidak sejalan. Cara kompromi untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam’i wa al-taufiiq) dapat diuraikan, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat Shubut dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan Syafi’iyyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat Shubuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah ab’adl, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam. Wallahu a’lam bi -shawab.

HM Cholil Nafis, MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
www.nu.or.id

Makna Istighotsah

Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.


Jadi istighotsah berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan.


Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum.


Baik Istighotsah maupun Isti'anah terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ

"(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9)

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.

Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;

وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ

"Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)

Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan.

Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.

Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :

إنَّ الشَّمْسَ ‏تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ ‏بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ

Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).

Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik.

Sedangkan isti'anah terdapat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ


Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)




KH A. Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
www.nu.or.id

Ziarah Kubur di Bulan Ramadhan dan Hari Raya

Pada prinsipnya, ziarah ke makam orang tua, keluarga, guru dan para ulama itu dapat dilaksanakan kapan saja; mau pagi, siang, sore, malam, boleh-boleh saja; hari Senin, Selasa, atau yang lainnya; seminggu sekali, dua kali atau tiga kali, silakan. Sebab inti (hikmah) dari ziarah ialah menebalkan keimanan dengan mengingat mati.

Tentu ini lebih baik ketimbang sepekan berpikir tentang dunia, kekayaan, uang, dan lain sebagainya, yang tidak ada batasnya. Malah dikhawatirkan akan menjerumuskan manusia ke lembah kesengsaraan. Tidakkah hidup ini sekadar kesenangan yang palsu, bak fatamorgana yang menipu? Kalau kita tidak pandai-pandai melapisinya dengan iman dan ilmu, apa jadinya?
Oleh karena itu, ziarah di bulan suci Ramadhan ataupun di Hari Raya, sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (hari-hari bulan Ramadhan) dan hari yang bahagia (Idul Fithri).

Justru akan sangat bermakna bagi orang-orang yang sedang mudik ke kampung halaman, ia akan merasa tentram jika sebelum minta maaf kepada orang lain ia terlebih dahulu mengunjungi kubur orang tuanya yang (ketepatan) meninggal lebih dulu.
Pada bab tentang merawat jenazah dan problem-problemnya, Imam Suyuthi menukil dari Imam Ibnu Hajar dalan kitab Fatawi-nya yang mengatakan: “Ruh seseorang berkait dengan jasad selama jasad itu masih utuh, kemudian ruh itu lepas menuju Illiyyin atau Sijjin di sisi Allah. Ruh tadi bahkan masih berkait dengan jasad meski jenazah berpindah dari satu kubur ke kubur yang lain.

Imam Harawi dalam Syarh Shahih Muslim dalam hal penjelasan mengenai hari ziarah mengatakan: Tidak ada hadits shahih yang menerangkan ketentuan hari untuk melakukan ziarah kubur dan tidak pula ada pembatasan berapa kali ziarah.

Nah ada keterangan tentang keutamaan ziarah yang dilakukan pada hari Jum’at. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً غَفَرَ اللهُ لَهُ وَكَانَ بَارًّا بِوَالِدَيْهِ
Siapa ziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari jum’at, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan mencatat sebagai bakti dia kepada orang tuanya. (HR Hakim)

KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta
www.nu.or.id

Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya.

Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut:
Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif), bahkan di bikin-bikin (Ja’li) ”.

Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini di kuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahabi lainnya.

Disamping dalil diatas mereka juga berdalih dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin, yakni firman Allah swt. dalam surat at-Taubah:84: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya”.
Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu ber- kaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt..

Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 halaman 416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 halaman 155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir.

Bagaimana mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Wahabi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali !!

Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat! Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah!! Begitu juga beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa ziarah kubur diperbolehkan.

Apakah Ibnu Taimiyyah dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragu kan keshahihan Shahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat lantas apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan?

Beranikah golongan pengingkar itu menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan menangis di depan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik? Beranikah mereka mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Beranikah golongan pengingkar ini mengatakan bahwa shalat, berdo’a dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah?

Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang konon ajaran- nya akan dihidupkan kembali oleh pengikut Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?
Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksanakan shalat di sisi kuburan dan atau menangis di samping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!

Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.
Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan dengan masalah sembahyang jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali tiga masjid tersebut. Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram(di Makkah), Al-Masjidul- Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah) Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.

Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah) . (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.

Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!
Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahaya kesyirikan dan kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah kubur!!

Lebih lanjut kata mereka; “Sering terjadi kekeliruan waktu Ziarah Kubur misal- nya: Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll), berdo’a kepada penghuni kubur, menyembelih binatang di sisi kuburan yang ditujukan kepada si mayit, sujud, membungkuk ke arah kuburan, kemudian mencium dan mengusapnya, shalat di atas kuburan. Ini semua tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda, (Janganlah kalian sholat di atas kubur), menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohon an di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletak- kan pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan ber- kaitan dengan perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan kepada beliau keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa. Juga sering orang mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan sehingga harus memilih tempat tersebut, memakai sandal ketika memasuki pekuburan, duduk di atas kubur dan lain sebagainya”.

Jawabannya:
Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan atau melarang ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran,logika dan angan-angan mereka sendiri. Begitu juga bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw. yang membolehkan dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan selanjutnya pada bab ziarah kubur ini dan lihat juga bab tawassul/tabarruk dll. dibuku ini).

Hadits Nabi saw. tadi ‘Dahulu saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’ ziarah tersebut. Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan? Sedangkan manusia yang paling taqwa dan mulia disisi Allah swt. Muhammad Rasulallah saw. telah menganjurkannya!!

Apakah beliau saw. akan menganjurkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau kemungkaran atau mengakibatkan kesyirikan ? Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para Salaf Sholeh serta para ulama pakar yang berziarah kemakam Rasulallah saw., kemakam para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam ?, dan hanya ulama dari pengikut madzhab Wahabi saja yang memahaminya ?

Waktu-waktu tertentu untuk berziarah: Rasulallah saw. tidak pernah mewajibkan maupun mengharamkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari dan pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Dimana dalil nya bahwa Rasulallah saw. mengharamkan ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu? Kenapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya?

Dalam syari’at Islam telah menyatakan adanya bulan, hari yang mulia umpama bulan-bulan Hurum/suci (Muharram, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban, Ramadhan, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan baca keterangan pada bab nishfu Sya’ban, majlis dzikir dan lainnya pada halaman lain dibuku ini atau dikitab-kitab ulama ahli fiqih). Pada bulan dan hari itu Allah swt. lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdo’a, beramal sholeh dan mengharapkan Rahmat dan Ampunan Ilahi.

Disamping bulan-bulan atau hari-hari biasa kaum muslimin berziarah ke pekuburan, mereka juga lebih memanfaatkannya pada bulan dan hari yang mulia tersebut untuk beramal sholeh diantaranya berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara kaum muslimin yang berfirasat hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu orang dibolehkan berziarah, ini tidak lain hanya pikiran, karangan dan dongengan golongan pengingkar sendiri!!

Apakah mereka ini tahu hukumnya dalam Islam orang yang mengharamkan sesuatu amalan yang halal dan menghalalkan suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya mengapa kok masih sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya sebagai amalan munkar, haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt.dalam surat An-Nahl:116; “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan in haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…sampai akhir ayat

Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa golongan pengingkar ini sering mengharamkan, memunkarkan, mensesatkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw. atau para sahabat tidak pernah melakukan mengapa kita melakukan hal itu. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal kalau kita teliti firman Allah swt. dalam surat Al-Hasyr :7 :


وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan nya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا

‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ

‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ


‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’


Begitu juga syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk dibuku ini. Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa berbuat demikian apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw. para Nabi, para wali, dan kaum sholihin!! Dengan adanya hadits-hadits itu, disamping para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untuk ahli kubur bukan berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu.

Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon: Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menabur- kan bunga diatas kuburan tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat ketuhanan.

Sedangkan menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan juga tidak ada salahnya, Nabi saw. sendiri telah mencontohkannya didalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas ra. Dalam hadits itu Nabi saw. ...minta pelepah pucuk kurma lalu dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain dengan berdo’a semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur) selama pelepah ini belum kering.

Dengan adanya hadits itu ummat beliau saw. juga mencontoh perbuatan beliau saw. menanamkan pelepah pohonan diatas kubur sambil berdo’a kepada ahli kubur. Dalam hadits itu Nabi saw. tidak melarang atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw., tapi bila ada kaum muslimin yang meniru perbuatan beliau saw. tidak lain karena beliau saw. sebagai contoh dari umatnya. Malah ada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya ditanamkan dua pucuk kurma. Ada juga riwayat hadits bahwa binatang-binatang dan pepohonan itu selalu bertasbih kepada Allah swt. Nah, apa salahnya dalam hal ini?

Pertanyaan sekarang terhadap golongan pengingkar, mengapa mereka mengharamkan perbuatan itu sedangkan Nabi saw. tidak melarang bila ada ummatnya yang meniru perbuatannya tersebut? Mana dalilnya dari Nabi saw. bahwa orang tidak boleh menaburkan bunga atau menanam pelepah diatas kuburan? Apakah Buraidah Aslami waktu berwasiat itu tidak mengerti hukum syari’at Islam?

 Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan itu tidak ada salahnya selama perbuatan itu sebagai penghormatan/ta’dim saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan tidak ada salahnya selama niatnya sebagai tabarruk/pengambilan barokah (ketereangan lebih mendetail baca bab tawassul/ tabarruk). Apakah golongan pengingkar ini masih ingat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sujudnya para malaikat kepada Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. kepada Nabi Yusuf as. Semua ahli tafsir mengatakan bahwa sujud diayat itu sebagai sujud penghormatan bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati.

Kalau sujud disitu tidak dicela oleh Allah swt. karena tidak lain hanya merupakan penghormatan mengapa golongan pengingkar berani meng- haramkan sampai berani mensyirikkan orang yang berdiri khidmat dan lain sebagainya dihadapan kuburan Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin lainnya? Semua amalan itu tergantung dari niatnya....(hadits shohih), kalau niat orang itu untuk menghormat kepada ahli kubur, maka tidak ada masalahnya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syari’at. Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah maka akan hancurlah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt.!!.

Bila ada penziarah kubur berkeyakinan bahwa ahli kubur (obyek yang diziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah swt.) memberi syafa’at pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita tidak boleh mengharam- kan ziarah kubur karena perbuatan perorangan/individu yang berkeyakinan salah itu. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan hukum syari’at Islam !
Maka dari itu janganlah seenaknya sendiri tanpa dalil agama yang jelas anda mensyirikkan seseorang karena melihat secara lahir perbuatan orang tersebut, karena anda tidak mengetahui keyakinan di hati setiap orang !! Ingatlah hadits riwayat Muslim (Shahih Muslim Bab 41 no. 158 dan hadits yang sama no.159) bahwa Usamah bin Zaid ra membunuh seorang pimpinan Laskar Kafir yang telah terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah tidak serius ia (laskar kafir) mengucap syahadat, lalu Usamah membunuhnya. Betapa murkanya Rasulallah saw. saat mendengar kabar itu.., seraya bersabda: Apakah engkau membunuhnya padahal ia mengatakan Laa ilaaha Illallah !!? Lalu Usamah ra. berkata: Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah.., maka beliau saw. bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah engkau telah belah sanubari -nya hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan ini diulangi tiga kali) … ..sampai akhir hadits ? Renungkanlah !

 Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka dimuliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak riwayat yang menceritera- kan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua tempat sama !.

Memakai sandal di kuburan para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulama berpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah yang mewah bila tidak ada udzurnya (banyak duri dll). Jureir bin Ibnu Hazim berkata: ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur dengan memakai terompah’.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Seorang hamba bila ia telah di letakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi terompah-terompah mereka”. Hadits ini sebagai alasan atau dalil dibolehkannya berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar oleh si mayyit bunyi terompah itu jika tidak dipakai.!!

Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh memakai terompah Sibtit terompah mewah di pekuburan berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: “Rasulallah saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenal- nya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkan-nya”. Imam Ahmad mengatakan makruh ialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau najis, lenyaplah hukum makruh itu !!

Berkata Khathabi: “Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjuk- kan kemewahan, sebab terompah Sibtit itu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah. Lalu katanya lagi: ‘Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.
Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang yang pakai sandal di pekuburan? Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!!

Duduk diatas kubur dianggap kurang penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas hingga membakar pakaiannya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur ”.

Dengan adanya hadits itu, jumhur (pada umumnya) ulama memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkan dan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita ambil dalil dari jumhur ulama yang memakruhkan.
Imam Nawawi berkata: “Melihat gelagat ucapan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas. Ulasnya pula: Demikian pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; Juga sama makruh hukumnya, ber- telekan diatasnya dan bersandar padanya”.

Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya (boleh) duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. Wallahu a’lam. (Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181)

 Sedangkan hadits riwayat Imam Bukhori mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur ialah: “Mereka (Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada seorang yang sholeh diantara mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung....sampai akhir hadits” dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu masih belum jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadits-hadits semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayak- nya di hindari, bukan mutlak haram. Begitu juga hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan.

Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai tabar- rukan (pengambilan barokah) bukan sebagai arah kiblat.
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat yang tidak baik”.

Kalau golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkan sholat meng- hadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw. khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarukkan.



Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi Wahabi (A. Shihabuddin)

Artikel Terakhir

Followers

Popular Posts

Video