tag:blogger.com,1999:blog-27453840473471271212024-03-13T03:04:41.761-07:00KENAPA TAKUT BID'AH?Kenapat mesti takut pada bid'ah?
Blog ini akan menuntun anda agar tidak alergi dengan kata "bid'ah" karena sebenarnya bid'ah itu ada yang hasanah dan ada yang dholalah. Tentunya kita juga menolak bid'ah dholalah. Tetapi tidak semua bid'ah itu dholalah.Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.comBlogger70125tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-19423924280563263562011-03-26T07:16:00.000-07:002011-03-26T07:24:38.442-07:00Seri Kontra Wahabi (2): Allah Maha Suci<div align="justify"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQxMQeJhgK_eXT9TWpifCaEd-cMF4X1ooXrjejmlBiqkCpZ1ORr_c1RwEUHV-tU5T6J2ova8wMi04OnLcphxmxStLKAgvTKZJFray54xmU85-aUotVn4T8l6Hai3WAlhaQEBy2gwBEEJg/s1600/168905_1616195730805_1413704156_31492271_1471418_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQxMQeJhgK_eXT9TWpifCaEd-cMF4X1ooXrjejmlBiqkCpZ1ORr_c1RwEUHV-tU5T6J2ova8wMi04OnLcphxmxStLKAgvTKZJFray54xmU85-aUotVn4T8l6Hai3WAlhaQEBy2gwBEEJg/s320/168905_1616195730805_1413704156_31492271_1471418_n.jpg" width="218" /></a></div><br />
<b><span style="font-size: large;">Allah Ada tanpa Tempat</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak menyerupai makhluk-Nya.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata: “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">اَللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ. (الزمر : ٦٢).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span style="font-size: large;">هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ. (الحديد : ٣</span><span style="font-size: large;">).</span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid : 3).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><b><span style="font-size: large;">Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ. (الحديد : ٤).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span dir="ltr"><span style="font-size: large;"> </span></span><span style="font-size: large;">مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).</span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7). </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.” </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;"> Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><b><span style="font-size: large;">Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?” </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">وَقَالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span style="font-size: large;">وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ</span><span dir="ltr"><span style="font-size: large;">.</span></span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span style="font-size: large;">عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ </span><span style="font-size: large;">فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ. </span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><b><span style="font-size: large;">Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja juga mereka sembelih.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-size: large;">وَمَنْ كَانَ فِيْ هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيْلاً. (الإسراء :٧٢).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><b><span style="font-size: large;">Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi?</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span style="font-size: large;">بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ</span><span dir="ltr"><span style="font-size: large;">.</span></span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”. </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify" dir="rtl"><span style="font-family: "Arial";"><span style="color: black;"><span style="font-size: large;">بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ</span><span dir="ltr"><span style="font-size: large;">.</span></span></span></span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><b><span style="font-size: large;">Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal</span></b></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya Imam Malik bin </span><span style="font-size: large;">Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan </span><span style="font-size: large;">AM, tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD bercerita begini.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5). </span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa (QS. al-Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala). Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada saya secara pribadi.</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">==</span></div><span style="font-size: large;"> </span><br />
<div align="justify"><span style="font-size: large;">Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.</span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-14995294396604342302011-03-22T04:44:00.000-07:002011-03-22T04:44:44.904-07:00Seri Kontra Wahabi (1): Ngalap Barokah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDr5ux9q8Ow1GC43QMdHGms6op7IyTrEOMRA4tq2Pxg1ULik4x2e2MhL3Vnd3GQ0PDBP1tnHeWxTJ-92qS0GeGouC_8vvYJJ53lXfGtqZJ5v0UN5wT0b3ERbL-o7rBHrHxM_TIdEGr684/s1600/168905_1616195730805_1413704156_31492271_1471418_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDr5ux9q8Ow1GC43QMdHGms6op7IyTrEOMRA4tq2Pxg1ULik4x2e2MhL3Vnd3GQ0PDBP1tnHeWxTJ-92qS0GeGouC_8vvYJJ53lXfGtqZJ5v0UN5wT0b3ERbL-o7rBHrHxM_TIdEGr684/s320/168905_1616195730805_1413704156_31492271_1471418_n.jpg" width="218" /></a></div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><strong>Dialog Publik di Masjidil Haram</strong></span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya. </span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh dua ulama besar itu.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَاركَاً. (ق : ٩).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا. (آل عمران : ٩٦).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.” </span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.” </span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. </span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu. </span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><strong>Ngalap Berkah</strong></span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">أَنَّ مُوْسَى u قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ رِوَايَةٍ « فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا اْلآَخِرَةَ».</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">==</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.</span></div><div align="justify"><span style="font-size: large;"><br />
</span></div><div align="justify"><a href="http://www.sidogiri.net/index.php/artikel/view/246"><span style="font-size: large;">http://www.sidogiri.net/index.php/artikel/view/246</span></a></div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify"><span style="font-size: large;">Segera Dapatkan bukunya!! Beli di Toko Buku terdekat di kota anda! </span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-90018979087748648632011-03-13T07:48:00.000-07:002011-03-13T08:06:15.453-07:00Tawassul Dengan Kubur Nabi Muhammad SAW<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/166346_1587148444641_1413704156_31439821_1775518_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="175" width="230" src="http://a5.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/166346_1587148444641_1413704156_31439821_1775518_n.jpg" /></a></div><br />
Imam Al-Darimy menyatakan dalam kitabnya Al-Sunan (pada bab Penghormatan Allah SWT kepada Nabi Muhammad setelah wafat): "Diceritakan dari Abu Nu'man, dari Sa'id Ibn Zaid, dari 'Amr lbn Malik Al-Bakari, dari Abu Al-Jauza' Aus Ibn Abdillah, ia berkata, "Pada suatu ketika, penduduk Madinah ditimpa kemarau panjang yang mencekik, sehingga mereka mengadu kepada Aisyah ra". Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi dan buatlah sebuah lubang yang tembus ke langit di atasnya, sehingga tidak ada atap antaranya dengan langit itu." Lantas ~ demikian menurut para perawi hadits — merekapun melakukan saran Aisyah ra, dan lak lama kemudian hujan lurun dengan lebat; sehingga rerumputan tumbuh dengan seketika, dan onta menjadi gemuk (bahkan sampai pecah-pecah lantaran kelewat gemuk). Sehingga tahun itu kemudian disebut sebagai 'Am Al-Fatq (tahun pecah-pecah).<br />
<br />
(Sunan Darimy, jilid 1, halaman 43)<br />
<br />
Inilah tawassul dengan kubur Nabi, yang semata-mata bukan dengan keadaannya sebagai kubur, tetapi kubur itu menyimpan jasad dari makhluk paling mulia di kolong jagad ini, seorang kekasih Allah.<br />
<br />
Sehingga kuburan tersebut menjadi mulia lantaran menyimpan jasad tersebut, dan menjadi pantas disifatkan dengan sifat mulia.<br />
<br />
Berkala Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi: 'Telah bercerita kepada kami Abu Nash bin Qotadah, dan Abu Bakar Al-Farisi, ke¬duanya berkata, telah bercerita kepada kami Umar bin Mathar, telah bercerita kepada kami Ibrahim bin Ali Al-Dzahili, telah bercerita kepada kami Yahya bin Yahya, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah dari Al-A'masy dari Abu Shalih dari Malik, katanya: "Pada zaman Umar bin Khattab, ummat ditimpa kemarau panjang, maka datanglah seorang pria ke kuburan Nabi Muhammad SAW seraya berkata: "Ya Rasulullah, mohonlah hujan kepada Allah bagi ummat mu karena mereka (hampir) hancur." Lantas orang tersebut didalangi Nabi SAW ketika tidur (mimpi). Dimana dalam mimpinya, Nabi bersabda: "Pergilah temui Umar, sampaikan salamku bahwa mereka akan diberi hujan."<br />
<br />
Orang itu kemudian menghadap Umar, sehingga Umar pun berkata: "Ya Allah, mereka tidak menyampaikan keluhan kepada-Mu, kecuali apa yang aku tidak berdaya." (Isnad hadits ini shahih. Demikian dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Bidayah, jilid I, halaman 91, pada bab berbagai peristiwa tahun 18 H.).<br />
<br />
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan pula dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Shalih Al-Samman dari Malik Al-Dary, bendahara Ummar.<br />
<br />
Ia bercerita bahwa pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab pernah terjadi kemarau panjang. Lantas seorang pria mendatang kuburan Nabi Muhammad. Ia berkata, "Ya Rasul Allah, mintakan hujan untuk ummatmu karena mereka sedang menderita kesulitan "<br />
<br />
Nabi lantas mendatangi orang itu dalam mimpinya, dan Nabi SAW menyuruhnya menemui Umar. (Lihai kembali cerita liadili terdahulu). Saif meriwayatkan dalam kilab Al-Futuh bahwa orang itu yang bermimpi itu adalah salah seorang Sahabat bernama Bilal bin Harits Al Muzni. Dan menurut Ibnu Hajar, isnad Bilal shahih.<br />
<br />
(Fath Al-Bari, halaman 415, jiliil II)<br />
<br />
Tak seorangpun — dari para Imam yang meriwayatkan hadits itu dan ulama yang mengutipnya sesudah mereka -- yang menyatakan bahwa tawassul dengan kuburan Nabi adalah kufur dan sesat.<br />
<br />
Juga tak seorangpun yang mencela matan hadits tersebut. Malah hadits itu, dinukil dan dipandang shahih oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang pakar hadits yang berilmu, utama, dan statusnya di kalangan ahli hadits tidak diragukan lagi.<br />
<br />
Ibnu Katsir menyatakan bahwa Sya'ir ummat Islam ketika perang Yamamah yang sangat populer adalah: "Duhai Muhammad."<br />
<br />
Dimana cerita selengkapnya adalah sebagai berikut: "Khalid Ibn Walid — pemimpin pasukan perang (dalam perang Yamamah) -- ketika berhasil melintasi suatu daerah pegunungan yang telah di¬kuasai oleh Musailamah (Sang Pembohong), berhasil pula membidik dan membunuh Musailamah.<br />
<br />
Sehingga Khalid, lantas berdiri di antara dua baris pasukannya, memanggil-manggil Al-Barraz seraya berkata; "Aku anak Walid, mari kita kembali. Aku anak Ibn 'Amir dan Zaid, mari kita kembali." Di¬mana waktu itu, kemudian Khalid mendendangkan sebuah sya'ir kaum Muslimin yang sangat populer yakni; "Duhai Muhammad."<br />
<br />
(Al'Bidayah wa Al-Nihayah, jilid 6, halaman 324)<br />
<br />
[Disadur dari buku "Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan" (Mafahim Yajib An Tushahhah), Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alwy Al-Maliky, halaman 179-181, Penerbit Fikahati Aneska, Cetakan Kedua 1996]Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-48334668174820681912011-01-02T00:18:00.000-08:002011-01-02T00:18:06.881-08:00Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari - Ibnu Hajar al-Asqalani<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0iNLyP1-mj2sDxHyLc0zu1TxQjGqnBuYDz5vJMpWwY8hYgF6ZYzNDwJzQ7X7kI6TPQxgkE6lVftZ12HAn1ZSfgYHbL-PbXhf2WfCZ3UXo5DICO81T56V-VhIJ2MNAbL5ymFvKdS-TP9A/s1600/www.kitabklasik.co.cc-364.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0iNLyP1-mj2sDxHyLc0zu1TxQjGqnBuYDz5vJMpWwY8hYgF6ZYzNDwJzQ7X7kI6TPQxgkE6lVftZ12HAn1ZSfgYHbL-PbXhf2WfCZ3UXo5DICO81T56V-VhIJ2MNAbL5ymFvKdS-TP9A/s1600/www.kitabklasik.co.cc-364.jpg" /></a></div><br />
<br />
فتح الباري شرح صحيح البخاري<br />
ابن حجر العسقلاني<br />
<br />
إن أصح الكتب بعد كتاب الله تعالى هو كتاب الجامع الصحيح للإمام البخاري حيث التزم فيه أعلى درجات الصحة وتلقته الأمة بالقبول . وقد كثرت عليه الشروحات لبالغ أهميته وكان من بينها بل ومن أهمها شرح ابن حجر العسقلاني الذي سماه فتح الباري حيث شرح السند وشرح المتن شرحا وافيا يمر على السند فيترجم للراوي يذكر نسبه ومكانته في علم الحديث وشيوخه وغير ذلك، ثم يأتي على متن الحديث فيشرح ألفاظه ويوضح معانيها ويبين الروايات الأخرى للحديث ويورد فقه الحديث وما يتضمنه من أحكام، ويذكر آراء العلماء وأهل الفقه<br />
<br />
<b>LINK DOWNLOAD:</b><br />
Ver.1 PDF (<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb00.pdf" title="Cover">Cover</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb01p.pdf" title="Muqaddimah">Mqd</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb01.pdf" title="1">1</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb02.pdf" title="2">2</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb03.pdf" title="3">3</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb04.pdf" title="4">4</a>-<a href="http://ia331420.us.archive.org/1/items/852_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb05.pdf" title="5">5</a>-<a href="http://ia331412.us.archive.org/0/items/852.1_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb06.pdf" title="6">6</a>-<a href="http://ia331412.us.archive.org/0/items/852.1_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb07.pdf" title="7">7</a>-<a href="http://ia331412.us.archive.org/0/items/852.1_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb08.pdf" title="8">8</a>-<a href="http://ia331412.us.archive.org/0/items/852.1_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb09.pdf" title="9">9</a>-<a href="http://ia331412.us.archive.org/0/items/852.1_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb10.pdf" title="10">10</a>-<a href="http://ia331415.us.archive.org/0/items/852.2_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb11.pdf" title="11">11</a>-<a href="http://ia331415.us.archive.org/0/items/852.2_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb12.pdf" title="12">12</a>-<a href="http://ia331415.us.archive.org/0/items/852.2_abn.hajar_fath.albari.hady.alsari/fbssb13.pdf" title="13">13</a>) / PDF (<a href="http://www.waqfeya.com/book.php?bid=540">1-13</a>) --> ط. 2001 م - ت. عبد القادر شيبة الحمد - برواية ابي ذر الهروي<br />
Ver.2 PDF (<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/00_53592.pdf" title="Download Cover">Cover</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/01_53592p.pdf" title="Download Muqaddimah">Mqd</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/01_53592.pdf" title="Download 1">1</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/02_53593.pdf" title="Download 2">2</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/03_53594.pdf" title="Download 3">3</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/04_53595.pdf" title="Download 4">4</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/05_53596.pdf" title="Download 5">5</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/06_53597.pdf" title="Download 6">6</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/07_53598.pdf" title="Download 7">7</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/08_53599.pdf" title="Download 8">8</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/09_53600.pdf" title="Download 9">9</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/10_53601.pdf" title="Download 10">10</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/11_53602.pdf" title="Download 11">11</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/12_53603.pdf" title="Download 12">12</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/13_53604.pdf" title="Download 13">13</a>-<a href="http://ia341335.us.archive.org/2/items/waq53592/14_53605.pdf" title="Download 14">14</a>) <a href="http://www.archive.org/details/waq53592" target="blank" title="details">#</a> --> ط. دار السلام 2000 م - 14 مجلدات - تخريج: عبد العزيز بن عبد الله بن باز<br />
Ver.3 (<a href="http://ia341334.us.archive.org/1/items/waq105921/105921.pdf">PDF</a>) <a href="http://www.archive.org/details/waq105921" target="blank" title="details">#</a> --> ط. بيت الأفكار الدولية - 3 مجلدات في ملف واحد<br />
ver.4 PDF (<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb00.pdf" title="Download Cover">Cover</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb01.pdf" title="Download 01">1</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb02.pdf" title="Download 2">2</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb03.pdf" title="Download 3">3</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb04.pdf" title="Download 4">4</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb05.pdf" title="Download 5">5</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb06.pdf" title="Download 6">6</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb07.pdf" title="Download 7">7</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb08.pdf" title="Download 8">8</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb09.pdf" title="Download 9">9</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb10.pdf" title="Download 10">10</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb11.pdf" title="Download 11">11</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb12.pdf" title="Download 12">12</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb13.pdf" title="Download 13">13</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb14.pdf" title="Download 14">14</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb15.pdf" title="Download 15">15</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb16.pdf" title="Download 16">16</a>-<a href="http://ia360608.us.archive.org/1/items/fbssbfbssb/fbssb17.pdf" title="Download 17">17</a>) <a href="http://www.archive.org/details/fbssbfbssb" target="blank" title="details">#</a> --> ش. طيبة 2005 م - ت. نظر بن محمد الفاريابي - تعليقات: عبد العزيز بن باز<br />
Ver.5 PDF (<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/00_2021.pdf" title="Download Cover">Cover</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/01_2021p.pdf" title="Download Muqaddimah">Mqd</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/01_2022.pdf" title="Download 1">1</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/02_2023.pdf" title="Download 2">2</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/03_2024.pdf" title="Download 3">3</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/04_2025.pdf" title="Download 4">4</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/05_2026.pdf" title="Download 5">5</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/06_2027.pdf" title="Download 6">6</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/07_2028.pdf" title="Download 7">7</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/08_2029.pdf" title="Download 8">8</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/09_2030.pdf" title="Download 9">9</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/10_2031.pdf" title="Download 10">10</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/11_2032.pdf" title="Download 11">11</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/12_2033.pdf" title="Download 12">12</a>-<a href="http://ia341337.us.archive.org/3/items/waq2021/13_2034.pdf" title="Download 13">13</a>) <a href="http://www.archive.org/details/waq2021" target="blank" title="details">#</a> --> ط. المكتبة السلفية - ت. عبد العزيز بن باز<br />
<a href="http://www.almeshkat.net/books/archive/books/fath%20albaari.zip">DOC </a><br />
<br />
Sumber: http://read.kitabklasik.co.cc/2009/03/fathul-bari-syarah-shahih-al-bukhari.htmlAdminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-49646584074589825122011-01-01T23:27:00.000-08:002011-01-01T23:27:51.897-08:00Membaca Al-Qur'an Untuk Orang Mati itu Boleh Menurut Syaikh Al-Utsaimin Ulama Wahabi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjF600lmOblzJL0H2WykYHE2QTAWTddwhVnfYPFYlJ_RFY1BxBOm3Lniyony72ztJMi-bOkYbUyf4QGT_T8S-iSXuD9UgxbmjQ_qAcFdz8dDGUa0b1bjR6zhxuYCvyNxfM2bnOCrXeJt3c/s1600/shalih+al-utsaimin+2.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjF600lmOblzJL0H2WykYHE2QTAWTddwhVnfYPFYlJ_RFY1BxBOm3Lniyony72ztJMi-bOkYbUyf4QGT_T8S-iSXuD9UgxbmjQ_qAcFdz8dDGUa0b1bjR6zhxuYCvyNxfM2bnOCrXeJt3c/s1600/shalih+al-utsaimin+2.png" /></a></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK ORANG MATI ADALAH BOLEH (PENDAPAT YANG RAJIH) KATA SYAIKH ‘UTSAIMIN [RUJUK MAJMU’ FATAWA WA RASAIL FADLILATUSY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN (W. 1421 H)]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">(359) سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح الميت؟</div><div style="text-align: justify;">Fadlilatusy Syaikh : tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk roh orang mati ?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.</div><div style="text-align: justify;">Jawaban :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tilawah (membaca al-qur’an) untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) dari kaum muslimin, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlil imi atas dua pendapat :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat menfaat dengannya yakni tidak memberikan manfaat dengan pemabacaan al-Qur’an pada perkara ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi manusia untuk membaca al-Qur’an dengan niat pahalanya untuk fulan atau fulanah dari kaum muslimin, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang KEDUA karena sesungguhnya telah warid sebagai jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit, sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku dalam telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun tidak dikatakan, anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya bahkan Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka ini menunjukkan bahwa seorag manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.” ........</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Faidah yang bisa di ambil adalah :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">- Yang rajih berdasarkan pentarjihan dari Syaikh ‘Utsaimin bahwa pahala bacaan al-Qur’an boleh dihadiahkan untuk orang mati, dengan niatkannya dan bermanfaat untuk mayyit.</div><div style="text-align: justify;">- Ini juga sam halnya dengan pendapat qaul masyhur dari madzhab Syafi’i, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya”. [Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab (2/23)]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian juga disebutkan oleh al-‘Allamah Sulaiman al-Jamal :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“dan tahqiq (penjelasan) bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga” [Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal (2/210)]</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">- Antara do’a untuk orang mati dan membaca al-Qur’an untuk orang mati hanya masalah afdlaliyah (keutamaan) saja, dan disini menurut Syaikh ‘Utsaimin yang lebih utama adalah berdo’a untuk orang mati.</div><div style="text-align: justify;">- Hadits tentang menshadahkan untuk orang mati juga bisa dijadikan sebagai dalil bahwa pembacaan al-Qur’an untuk orang mati juga boleh, ini sebenarnya disebut sebagai qiyas.</div><div style="text-align: justify;">- Hadits tentang terputusnya amal bukan berarti menafikan perpindahan pahala untuk orang mati, demikian juga bukan berarti larangan membaca al-Qur’an untuk orang mati melainkan juga hanya masalah afdlaliyah saja, sebab dalam hadits tersebut hanya dituturkan masalah do’a.</div><div style="text-align: justify;">- PENTING : yakni bahwa tidak semua hal baru jatuh pada status hukum haram (sebagai bid’ah muharramah) dan disini Syaikh ‘Ustaimin malah memperbolehkannya.</div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-22058168392303112562011-01-01T22:27:00.000-08:002011-01-01T22:27:45.422-08:00BACA DAN SEBARKAN LINK ARTIKEL-ARTIKEL PENTING BERIKUT INI!!<div class="photo photo_none"><div class="photo_img" style="text-align: center;"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs782.ash1/167255_1554213981300_1413704156_31381207_1061409_n.jpg" /></div></div><br />
BACA DAN SEBARKAN LINK INI!!! 100% HALAL UNTUK DI COPY PASTE!!<br />
WASPADAI TERUS AJARAN WAHHABI!!<br />
<br />
<br />
1. Para Ulama Telah Membantah Muhammad Ibn Abd Al-Wahhab; Perintis Gerakan Wahhabi, klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112485828768335&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112485828768335&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
2. Imam Taqiyyudin Abu Bakr al-Husni, penulis kitab Kifayat al-Akhyar, (--herannya kitab ini menjadi salah satu buku rujukan Wahabi--) dalam kitabnya berjudul "Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad" menuliskan: "Kekufuran Ibn Taimiyah telah disepakati oleh Ulama empat madzhab". klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112479795435605&id=351534640896&ref=share" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112479795435605&id=351534640896&ref=share</a><br />
<br />
<br />
3. BACA DAN SEBARKAN!! al Imam Ibn al Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih ((( Mewaspadai Ajaran Wahabi ))) klik inihttp://<a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=164430070240577&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">www.facebook.com/note.php?note_id=164430070240577&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
4. Wahabi Punya Akal Sehat Ga Sih???? Dia Yakin Arsy Makhluk Allah; Tapi Dia Bilang Allah bertempat Di arsy!! Na'udzu Billah!!! klikhttp://<a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=139898152693769&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">www.facebook.com/note.php?note_id=139898152693769&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
5. Dalil Kebolehan Mencium Makam Rasulullah Atau Orang-orang Saleh Dari Kitab Wafa' al Wafa (Menohok Ajaran Sesat Wahabi) klik ini<br />
<a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=160954943921423&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=160954943921423&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
6. Wahabi Merusak Kitab Nihayah al-Qaul al-Mufid, [[ Ini Buktinya ]], baca dan sebarkan.... tengok kiri kanan jangan sampai ada kerabat kita yang jadi Wahhabi, Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=154182567931994&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=154182567931994&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
7. Dalil Kebolehan Mencium Makam Rasulullah Atau Orang-orang Saleh Dari Kitab Wafa' al Wafa (Menohok Ajaran Sesat Wahabi), baca dan sebarkan. Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=160954943921423&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=160954943921423&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
8. Hadits Riwayat Imam Muslim Dalam Kitab Shahih Dengan Syarh-nya Tentang Anjuran Tabarruk Dengan Peninggalan Orang2 Saleh, Sementara Wahabi sesat mengatakan tabarruk perbuatan bid'ah dan syirik. Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=162827517067499&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=162827517067499&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
9. Imam Syafi'i Setiap Hari Ziarah Ke Makam Imam Abu Hanifah Dan Tawassul Dengannya, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik Dan Kufur. Waspadai terus ajaran sesat Wahabi.... Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=162829053734012&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=162829053734012&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
10. Satu catatan untuk Ibnu Utsaimin dan para pengikutnya: "DI MATA KALIAN SENDIRI RAJA KALIAN ADALAH ORANG KAFIR" karena ia berdoa dengan menghadap ke makam Rasulullah... Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=177951145555136&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=177951145555136&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
11. Dedengkot Wahabi "Berantem" Saling Menyesatkan; Ibnu Bas dan Ibnu Utsaimin [Bukti Nyata Kesesatan Aqidah Wahabi]... baca dan sebarkan!!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=181310078552576&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=181310078552576&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
12. Ibn al Jawzi Dalam Sifat as Shofwah Menganjurkan Ziarah Ke Makam Orang2 Saleh Dan Tawassul, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=162824827067768&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=162824827067768&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
13. Salah Seorang Ulama Terkemuka Dalam Madzhab Hanafi; Imam Ibn Abidin, MENGATAKAN bahwa Kaum Wahabi SESAT...!!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=150450398305211&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=150450398305211&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
14. Ibnu Hajar al-Haitami; Ulama Terkemuka Madzhab Syafi'i, Mengatakan: "IBNU TAIMIYAH SESAT" (Menohok Wahabi) Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=150951658255085&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=150951658255085&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
15. Menohok Kaum Wahabi Yang Anti Tawassul, Dari Tulisan Adz-Dzahabi. Sodorkan Tulisan adz-Dzahabi Ini Kepada Mereka!!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=151512118199039&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=151512118199039&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
16. Lengkap membahas masalah perayaan Maulid Nabi dari a sampe z, sangat penting untuk membantah ajaran sesat Wahabi, baca dan sebarkan.... Barakallah fikum!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=153892607960990&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=153892607960990&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
17. Konyol, salah seorang pemuka Wahabi, bernama al Qanuji, dlm karyanya berjudul "ad Din al Khalish", j. 1, h. 140, brkt: "Taqlid dengan madzhab-madzhab adalah syirik". Ini artinya, menurut dia seluruh umat Islam telah menjadi kafir karena mreka semua bertaqlid kepada empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=154893354527582" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=154893354527582</a><br />
<br />
<br />
<br />
18. Di Atas Arsy Terdapat Tempat [[[ Membongkar Kesesatan Nashiruddin al Albani; Salah Satu Tiang Ajaran Sesat Wahhabi ]]] Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=153597111323873&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=153597111323873&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
19. Ibnu Taimiyah Dalam Karyanya Mengatakan Bahwa Dari Arah Timur Akan Muncul FITNAH BESAR Dan PANGKAL KEKUFURAN yaitu Fitnah Wahhabi An-Najedi Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=154442421239342&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=154442421239342&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
20. Wahabi mengatakan: "Maulid nabi sesat, ga ada di zaman Rasulullah". heh.. Wahabi, buka dan baca link ini; Imam Kalian; Ibnu Taimiyah al Mujassim mengatakan perayaan maulid nabi pekerjaan yang baik. Katakan oleh kalian: "IBNU TAIMIYAH SESAT". Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=154866137863637&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=154866137863637&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
21. Lagi; Kaum Wahabi "Mengoyak" (mereduksi) Kitab al Adzkar Karya Imam An Nawawi, heh!! mereka ga punya amanat ilmiah, klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=160029190680665" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=160029190680665</a><br />
<br />
<br />
<br />
22. Hati2, Ada Dua Orang Bernama Abu Ya’la, Keduanya Orang Berbeda [Sangat Penting Untuk Menghindari Tipu Daya Kaum Wahhabi], klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=185239738159610&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=185239738159610&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
23. Heh..!"Cium Tangan" Dibilang Mendekati Perbuatan Syirik?! Membasmi Atau Menyebarkan "TBC"??! [Mendudukan Persoalan Dengan Dalil] Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=132078848329&id=1789501505&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=132078848329&id=1789501505&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
24. Nasehat adz-Dzahabi Terhadap Ibn Taimiyah; Bukti Pengakuan Seorang Murid Bagi Kesesatan Sang Guru Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=381439268329&id=1789501505&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=381439268329&id=1789501505&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
25. Wahabi = Khawarij,,,,, Khawarij = Wahabi, demikain tulisan Syekh Shawi dalam Hasyiyah Tafsir al Jalalain, silahkan cek dalam link berikut Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=153873444629573&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=153873444629573&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
26. Diantaranya, Karena Takwil Berikut Ini Ulama Sekaliber Imam an-Nawawi Dianggap sesat Oleh Kaum Wahhabi. Hasbunallah!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=154238364593081&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=154238364593081&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
27. Dedengkot Wahabi; IBNU UTSAIMIN mengatakan bahwa Imam Ibnu Hajar al Asqalani bukan dari golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, klik ini <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112481828768735&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112481828768735&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
28. Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi) Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112546762095575&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112546762095575&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
29. Supaya Tidak Sembarang Berbicara Masalah Hukum Agama; Anda Tidak Akan Mencapai Derajat Mujtahid Maka Anda Harus Menjadi Muqallid, klikhttp://<a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112489875434597&id=351534640896&ref=share" rel="nofollow" target="_blank">www.facebook.com/note.php?note_id=112489875434597&id=351534640896&ref=share</a><br />
<br />
<br />
<br />
30. Salah satu akar terorisme; karena salahpaham terhadap kandungan QS. al-Ma'idah: 44. Waspada, jangan sampai anda terjebak...Oleh Wahabi Teroris!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112481618768756&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112481618768756&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
31. Membongkar Kesesatan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; Aqidah Mereka Ini Nyata Bid'ah Sesat Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112480862102165&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112480862102165&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
32. Imam Taqiyyudin Abu Bakr al-Husni, penulis kitab Kifayat al-Akhyar, (--herannya kitab ini menjadi salah satu buku rujukan Wahabi--) dalam kitabnya berjudul "Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad" menuliskan: "Kekufuran Ibn Taimiyah telah disepakati oleh Ulama empat madzhab". Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112479795435605&id=351534640896&ref=share" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112479795435605&id=351534640896&ref=share</a><br />
<br />
<br />
33. [Mewaspadai Wahhabiyyah] Masa Memakai Tasbih Untuk Menghitung Bilangan Dzikir Disebut Bid'ah Juga?! [Panjang.. Baca yang sabar] Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112554782094773&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112554782094773&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
34. al Imam Ibn al Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih ((( Mewaspadai Ajaran Wahabi ))) klik ini <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=164430070240577&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=164430070240577&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
35. Jangan Salah Memahami Hadits Ini, Orang2 Wahhabi Mengkafirkan Banyak Orang Islam Karena Salah Memahami Hadits Ini, Hattiii2..!!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112487062101545&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112487062101545&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
<br />
36. Di Antara Argumen Buruk Kaum Wahhabi Tentang Tabarruk Dan Tawassul; KITA BONGKAR DI SINI.. !!! Klik <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112482865435298&id=351534640896&ref=mf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112482865435298&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<br />
Barakallahu fiikum!!Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-5650957366253891042010-12-31T22:42:00.000-08:002010-12-31T22:42:07.500-08:00Fatwa Jenaka Wahabi : "Tidak Boleh Menonton TV Meski Hanya Berita Saja"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_uvAsE8iowHEqpaZG9PYrTEf3cvh0yYAgnvOTBW3Eu7KTv0VTGeaqTvMDwzFtqGX24FWvkM3KfjVqQaqG_aVIQDMXJo-Q1cboUztczgWmCG3nIonSLEqExpsIEZYhSDd3k-kawgo9hyphenhyphenY/s1600/41607_179613435384579_5771833_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_uvAsE8iowHEqpaZG9PYrTEf3cvh0yYAgnvOTBW3Eu7KTv0VTGeaqTvMDwzFtqGX24FWvkM3KfjVqQaqG_aVIQDMXJo-Q1cboUztczgWmCG3nIonSLEqExpsIEZYhSDd3k-kawgo9hyphenhyphenY/s1600/41607_179613435384579_5771833_n.jpg" /></a></div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Mari kita sejenak melihat fatwa lucu nan jenaka yang layak anda simak sebagai humor yang menggelikan yang dikeluarkan oleh Juru Ramu Fatwa Sekte Wahhabi.</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Anda tahu Syaikh Muqbil Ibn Hadi al Wadi'i? Orang Salafi Wahabi pasti kenal orang ini. karena website Syaikh Wahabi ini juga ada di <a href="http://www.muqbel.net/" rel="nofollow" style="color: #3b5998; cursor: pointer; text-decoration: none;" target="_blank">www.muqbel.net</a>. Suatu ketika Syaikh Muqbil ini berfatwa atas pertanyaan mengenai hukum menonton televisi meskipun hanya nonton berita saja.</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">bukti mengenai ini bisa dilihat di website salafi sendiri (<a href="http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=853" rel="nofollow" style="color: #3b5998; cursor: pointer; text-decoration: none;" target="_blank">http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=853</a>) seperti dituliskan berikut ini:</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><blockquote style="border-left-color: rgb(221, 221, 221); border-left-style: solid; border-left-width: 5px; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 15px; padding-right: 15px; padding-top: 0px;"><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Dan inilah tanya jawab dari segala penjuru dunia, dan ini menunjukkan atas kepercayaan kaum Muslim kepada da'wah Ahlussunnah di negara Yaman, dan alhamdulillah telah tersebar sedikit banyak dari (kaset-kaset) muhadlarah dan tanya jawab atas pertanyaan orang-orang yang memohon fatwa. (disadur dari Muqadimah kitab "Tuhfatul Mujib"/Cetakan II-1423H / 2002M/ diterbitkan oleh : Daar el Athaar –Sana'a-Yemen).</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>والحـــــمدلله ربّ العالمــــــين</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>أبو عبد الرحمن مقبل بن هــادي الوادعي (غفرالله له وأسكنه الله فـسيـح جنته)</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Soal :</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Apa hukumnya kita melihat televisi cuma sekedar melihat berita saja ?</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Jawab Syaikh Muqbil :</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Tidak boleh dikarenakan ada gambarnya, dan dikarenakan pula terjadi di dalamnya dari perbuatan kejahatan dan perbuatan fasik (seperti zina dan pornografi), dan didalamnya mengajari orang untuk mencuri (banyak tayangan televisi yang menampilkan cara bermaksiat kepada Allah, pacaran, zina, peragaan TKP, dst, red), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>" لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صور"</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"Malaikat tidak akan memasuki suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (yang bernyawa)".</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam pada saat itu ingin masuk ke biliknya 'Aisyah maka dijumpai disana terdapat tirai yang bergambar (makhluk hidup), kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam Bersabda :</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"إنّ من أشد الناس عذابا يوم القيامة, الذين يصرون هذه الصور"</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"Sesungguhnya orang yang paling pedih siksanya di hari Akhir, yang menggambar gambar ini" Kemudian di robek-robek tirai yang bergambar tersebut oleh 'Aisyah.</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Dan didalam "As-Shahihain" dari Abi Hurairah radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam beliau bersabda : "Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>{ ومن أظلم ممّن ذهب يخلقوا كخلقي, فليخلقوا ذرّة, أو ليخلقوا حبة, أو شعيرة }</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"Dan siapakah yang lebih dzolim yang mencoba untuk menciptakan seperti ciptaanku, maka ciptakanlah biji jagung, atau ciptakanlah biji-bijian, atau biji gandum"</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Begitu pula seorang laki-laki menonton seorang penyiar wanita, dan Allah –Azza wa Jall- berfirman : { قل للمؤمنين يغضّوا من أبصارهم و يحفظوا فروجهم ذالك أزكى لهم }</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci bagi mereka" [An-Nur : 30].</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>Atau kalau penyiarnya laki-laki dan yang menonton wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : {و قلّ للمؤمنات يغضضن من أبصارهنّ و يحفظنّ فروجهنّ}</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>"Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan dan memelihara kemaluannaya". [An-Nur :31].</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>(Lihat kitab "Tuhfatul Mujib" pertanyaan dari negara Prancis (soal nomor : 10/halaman 270).</strong></em></div><div style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><em><strong>(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Abdullah Mubarok Barmim, Surabaya. Beliau murid syaikh Muqbil Ibn Hadi al Wadi'i rahimahullah, Yaman.)</strong></em></div></blockquote><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kasihan juga wahabi salafi yah, ga bisa tau perkembangan dunia.</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Sungguh luar biasa kehati-hatian para juru ramu fatwa primitif Wahhabi ini… kalau begitu para malaikat tidak akan pernah masuk ke ruang-ruang sidang dan kantor-kantor para muthowwe’ dan istana-istana para Emir dan Emirah, serta tidak akan pernah masuk ke tanah Saudi Arabia, sebab di sana banyak gambar emir-emir ganteng dan para Muthowwe’ mulai yang gengotnya rapi sampai yang kocar-kacir ! Bukankah demikian? Mulai yang mata manis hingga yang kecung!</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Mata uang Arab Saudi ada gambar raja mereka!</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Koran-koran dan majalah dipenuhi dengan gambar para Mufti Kerajaan anak-anak Sa’ud; Syeikh Ben Bâz, Ibnu Utsaimin, Ben Jibrin dkk…. Tayangan TV resmi Kerajaan Arab penuh dengan adegan hidup para mufti dalam acara keagamaan seperti fatawa ‘arbal hawâ’…</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kalau kita lihat di Indonesia pun demikian, Salafi Wahabi banyak juga kok yang gemar nonton televisi. menyelisihi fatwa syaikhnya, Muqbil Ibn Hadi. Bahkan mereka para Salafi Wahabi di Indonesia malah mendirikan stasiun televisi!!! contoh saja AHSAN TV, SUNNAH TV, RODJA TV, dan lain-lain. Jika anda pengguna facebook, coba anda lihat profil teman anda yang berfaham Salafi ini maka anda dapat menyaksikan <em>information</em> mengenai acara televisi yang disukainya. sebagian mengisinya dengan stasiun televisi buatan salafi wahabi tersebut. hehe..</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Kalau Salafi Wahabi melarang nonton televisi karena adanya gambar, harusnya penggunaan internet juga dilarang, karena di internet banyak menampilkan gambar. Di situs jejaring sosial facebook juga banyak beredar orang-orang Salafi wahabi. ada yang berdakwah dengan dalih pemurnian tauhid, alergi dengan TBC (Takhayul Bid'ah Khurafat), dan lain-lain. Mereka para Wahabiyyun pun banyak yang memasang fotonya sebagai foto profil facebooknya. Lagi, banyak website-dan blog salafy yang "rakus" sekali mengkafirkan sesama muslim yang beda pemahaman dan mensyirikkan amalan seseorang sembarangan. yang mana website dan blog tersebut juga tak jarang menampilkan gambar-gambar foto. Sungguh aneh bin ajaib!!</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Inilah betapa rancunya faham Salafi Wahhabi ini. Masihkah anda mengekor faham aneh nan lucu ini??</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"><br />
</div><div style="color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 1.5em; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;">Rupanya para Salafiyyun Wahabiyyun ini cuma setengah-setengah saja mengambil ajaran wahhabi ini. karena banyak salafiyyun yang menyelisihi fatwa ini. Paling-paling mereka cuma tertarik dengan urusan kafir-mengkafirkan saja, bid'ah-membid'ahkan saja, syirik-mensyirikkan saja. kalau urusan itu mah paling getol kayaknya deh wahabi salafi ini.</div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-28199012746489818282010-12-22T06:58:00.000-08:002010-12-22T06:58:17.442-08:00Wahhabi Merusak Kitab Hasyiah Tafsir Jalalain Karya Ash-Shawi<big><em>Bismillah, Wa al Hamdu Lillah, ash Shalat Wa as Salam Ala Rasulillah,</em></big><br />
<br />
<big>Saudaraku, silahkan anda lihat dengan mata kepala sendiri....!!!</big><br />
<br />
<big>Di antara kitab Ahlussunnah adalah Hasyiyah ash-Shawi Ala Tafsir al Jalalain karya Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H).</big><br />
<br />
<big>Kitab Tafsir ini telah direduksi kaum Wahhabi oleh karena penulisnya telah membongkar sejarah hitam mereka. Perhatikan berikut ini !!</big><br />
<big><strong>Scan pertama ini menunjukan naskah asli yang telah diterbitkan oleh Dar Ihya at turats al Arabi;</strong></big><br />
<br />
<br />
<div class="photo photo_none"><div class="photo_img"><big><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs376.snc4/45948_433757265896_351534640896_4827219_72803_n.jpg" style="width: 393px;" /></big></div></div><br />
<div class="photo photo_none"><div class="photo_img"><big><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/hs193.ash2/45634_433757370896_351534640896_4827223_8354741_n.jpg" style="width: 393px;" /></big></div></div><br />
<big><strong>Terjemah tulisan yang ditandai dengan warna adalah sebagai berikut:</strong></big><br />
<blockquote><big>"Menurut satu pendapat; ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur'an dan Sunnah, yang untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-hata mereka. Kenyataan ini sebagaimana terbukti di masa sekarang, sebuah kelompok yang sama persis dengan kaum Khawarij tersebut; mereka adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz, mereka dinamakan dengan kelompok Wahhabiyyah, mereka menganggap diri mereka di atas kebenaran, padahal sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta. Mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi, kita minta kepada Allah semoga Allah menghancurkan mereka".</big></blockquote><br />
<big><strong>lalu, silahkan anda lihat....</strong></big><br />
<big><strong>scan ke dua ini dari kitab yang sama yang diterbitkan Wahhabi, diterbitkan oleh Dar al Kutub al Ilmiyyah;</strong></big><br />
<br />
<br />
<div class="photo photo_none"><div class="photo_img"><big><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs389.snc4/45217_433757465896_351534640896_4827224_5941236_n.jpg" style="width: 393px;" /></big></div></div><br />
<div class="photo photo_none"><div class="photo_img"><big><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/hs211.ash2/47389_433757615896_351534640896_4827228_7571894_n.jpg" style="width: 393px;" /></big></div></div><br />
<big><strong>Terjemah tulisan yang ditandai dengan warna adalah sebagai berikut:</strong></big><br />
<blockquote><big>"Menurut satu pendapat; ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur'an dan Sunnah, yang untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-hata mereka.</big><br />
<br />
<big>[[[[[[[ .........teks di sini hilang ke antah berantah digerogoti Wahabi........... ]]]]]]]]] </big><br />
<br />
<big>Mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi".</big></blockquote><br />
<big>Hasbunallah.........................!!!!!</big><br />
<big><br />
</big><br />
<big><a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=153873444629573&id=351534640896&ref=mf">http://www.facebook.com/note.php?note_id=153873444629573&id=351534640896&ref=mf</a></big>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-27260988906656929032010-12-20T04:20:00.000-08:002010-12-20T04:20:04.127-08:00Melafadzkan Niat Sebelum Shalat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqXRghxRRHkr1rfi3k_tgArgiZ2BJRZ3jZoZyVcJinHwqthwBGGUK0Jq5v_DGq7nl0NN3xLDkNJmQNxjU8vfOanD2IKc2w1dgVsV-8eDGAA263lXSpBTNEmbd1CdpHU744PFn0zT1Vx38/s1600/shalat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqXRghxRRHkr1rfi3k_tgArgiZ2BJRZ3jZoZyVcJinHwqthwBGGUK0Jq5v_DGq7nl0NN3xLDkNJmQNxjU8vfOanD2IKc2w1dgVsV-8eDGAA263lXSpBTNEmbd1CdpHU744PFn0zT1Vx38/s320/shalat.jpg" width="213" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">Permasalahan niat sering kali disinggung oleh kaum sempalan ini. Salah satunya mereka membid’ahkan seseorang yang melafadzkan niat shalat sebelum takbiratul ikhram. Adakalanya faham sempalan ini menganggap sesat mereka yang melafadzkan niat shalat dengan berpegang pada hadits cuplikan andalannya yaitu semua bid’ah adalah sesat dan yang sesat masuk neraka, seolah-olah mereka telah mempunyai surga sendiri. ^_^ Faham sempalan anti madzab ini berargumen bahwa mereka yang melafadzkan niat shalat itu menambah-nambahi aturan dalam shalat sehingga dikatakan bid’ah dan sesat. Perkataan mereka sering mengecoh orang awam namun sebenarnya sangat rancu sekali sebab sholat itu dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jadi sebelum waktu takbir itu namanya belum sholat, sedang bacaan Usholli itu dilakukan sebelum Takbirotul Ihrom. Itu dengan kata-kata lain diucapkan di luar sholat, dan sama sekali tidak mengganggu tata tertibnya sholat.</div><div style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Sebenarnya niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:</span></div><div style="text-align: justify;"><em><span lang="EN-GB">"Segala perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan." </span></em><span lang="EN-GB">(Shohih al-Bukhori, no 1). </span></div><div style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Demikian juga dalam sholat. Niat adalah rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati (niat). </span></div><div style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.</span></div><span lang="EN-GB">Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.</span><br />
<br />
<br />
<b><span lang="EN-GB">BAGAIMANA PENDAPAT ULAMA’ TENTANG MELAFALKAN NIAT SHOLAT?<o:p></o:p></span></b><br />
<div style="text-align: justify;"><b><span lang="EN-GB">1. Imam Ramli</span></b><span lang="EN-GB"> (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya <em>Nihayah al-Muhtaj</em> mengatakan: </span></div><div style="text-align: justify;"><em><span lang="EN-GB">"Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.</span></em><span lang="EN-GB"> </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">2. Syaikh Khatib As-Syarbiniy</span></b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;"> {w. 997 H} mengatakan dalam "Mughniy Al-Muhtaj " pada juz 1 halaman 150:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram, gunanya agar lisan membantu niat dalam hati, dan karena mengucapkan niat jauh dari rasa was-was". {Mughniy al-Muhtaj Juz 1/150}.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">3. Syaikh Zakariya Al-Anshariy</span></b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;"> {w. 926H} mengatakan dalam Kitabnya Fathu Al-Wahhab sebuah kitab fiqih yang sangat ter-kenal pada juz 1 hal .38.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram, gunanya untuk membantu niat dalam hati. {Fathu al-Wahhab Juz 1/38}<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">4. Syaikh Zainuddin Al-Malibariy</span></b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;"> mengatakan dalam kitab "Fathul Mu’in" pada halaman 16 :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">“Dan sunnah mengucapkan niat, menjelang takbiratul ihram, gunanya membantu niat dalam hati, dan untuk keluar dari khilafiyah bagi yang mewajibkannya".{ Fathu al-Mu'in hal. 16}<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">BAGAIMANA PENDAPAT MADZAB EMPAT TENTANG MELAFADZKAN NIAT SHALAT?<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">1. MADZHAB HANAFI<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Ulama' Hanafiyah berpendapat bahwa niat shalat adalah bermaksud untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati. namun tidak di syaratkan melafadhkan dengan lisan. <b>Adapun melafadhkan fiat dengan lisan sunnah hukumnya</b>, untuk membantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis shalat yang dikerjakan dalam niat adalah lebih afdlal. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Rujuk :{al-Badai' 1/127. AdDurru al-Muhtar I/ 406. Fathu al-Qadir 1/185 dan al-Lubab1/66}<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">2. MADZHAB MALIKI<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Ulama Malikiyah berpendapat, niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu ibadah dan letaknya dalam hati. Niat shalat adalah syarat sahnya shalat, dan sebaiknya <b>tidak melafadzkan kecuali</b> <b>ragu, </b>maka <b>sunnah melafadzkan niat</b>, agar hilang keraguannya. Niat dalam shalat wajib bersamaan dengan takbiratul ihram, juga wajib menentukan jenis shalat yang dikerjakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Rujuk : (al-Syarhu al-Shaghir Wa-Hasyiyah ash-Shawl I/ 303-305. al-Syarhu al-Kabir ma'ad-Dasuqy 1/233 dan 520);<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">3. MADZAB SYAFI’I<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Ulama Syafi'iyah berpendapat, niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu ibadah yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. <b>Sunnah melafadhkan niat</b> shalat menjelang takbiratul. Wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Rujuk : {Hasyiyah Al-Bajury 1/149. Mughniy al-Muhtaj 1/148-150, 252- 253. al-Muhadzab I/70 , Al-Majmu' Syarh al-Muhadzab III/ 243-252}<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">4. MADZAB HAMBALI<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Ulama Hanbaliah mengatakan bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan <b>sunnah melafadhkan dengan lisan</b> . Disyaratkan Pula menentukan jenis shalat serta tujuan mengerjakan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Rujuk : (Al-Mughny 1/ 464-469. dan 11/ 231. Kasy-Syaaf al-Qona' 1/ 364-370)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Dalam beberapa kesempatan Nabi SAW pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits dijelaskan:</span></div><div class="MsoNormal" dir="RTL" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA">عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا</span></div><div style="text-align: justify;"><em><span lang="EN-GB">"Dari sahabat Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji." </span></em><span lang="EN-GB">(Shahih Muslim, no 2168).</span><span dir="RTL" lang="AR-SA"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Dari Umar ra, is berkata: Saya mendengar Nabi saw, di lembah al-Aqiq berkata: <i>Datang kepadaku tadi malam salah seorang utusan Allah, berkata kepadaku: "Shalatlah di lembah ini yang diberkahi dan ucapkanlah niat "Aku penuhi panggilan-Mu untuk ibadah Umrah dan Haji" HR. Bukhary. (Shahih Al-Bukhary 1/189}<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">Sekalipun hadits tersebut menerangkan melafadzkan niat dalam ibadah haji dan umroh, namun bukan berarti khusus untuk ibadah yang dimaksud, tetapi berlaku bagi semua ibadah selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Sesuai Qaidah al-Ushuliyah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="mso-ansi-language: EN-US; mso-fareast-language: EN-US;">"Apabila ada nash yang bersifat umum karena sebab khusus, maka yang dianggap adalah umumnya lafadz {nash} dan bukan khususnya sebab" {Ibnu Qudamah wa-atsaruhu al-Ushuliyyah hal. 233}<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span lang="EN-GB">Kesimpulan :<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Melafalkan niat sebelum shalat hukumnya <b>sunnah</b>, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan pun tidak apa-apa dan tidak berdosa. Karena melafalkan niat itu hanya merupakan perbuatan sunnah bukan merupakan amalan fardlu. <b>Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syari’at Allah SWT</b>. Lihatlah para ulama salaf dan imam mujtahid empat madzab tidak ada satupun yang menyatakan melafadzkan niat shalat sebagai Bid’ah sesat. Lalu ikut siapa sebenarnya faham sempalan itu?</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-GB">Wallahu a’lam</span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-11787196536169830662010-12-15T12:47:00.000-08:002010-12-15T12:47:06.560-08:00Bolehkah Mengucapkan "Sayyidina" ?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9o-574KtBRS1jfMmxkOpEFhiunKy1fHWNCc57wX-_OM2Ocy_q5WeG7sZol0LvuIKuQDd5pIO-apKwbiR7AbOX55l6xRxjdmGa1nEPEEWBtgGHon-Rsbrt5oFaNtd7RZgsGxOKOrBv3dk/s1600/muhammad_s_a_w_by_devilmaycryub.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9o-574KtBRS1jfMmxkOpEFhiunKy1fHWNCc57wX-_OM2Ocy_q5WeG7sZol0LvuIKuQDd5pIO-apKwbiR7AbOX55l6xRxjdmGa1nEPEEWBtgGHon-Rsbrt5oFaNtd7RZgsGxOKOrBv3dk/s1600/muhammad_s_a_w_by_devilmaycryub.jpg" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254). <br />
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:<br />
<br />
وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39) <br />
<br />
“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)<br />
<br />
Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda: <br />
<br />
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)<br />
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)<br />
<br />
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. <br />
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:<br />
<br />
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ<br />
<br />
Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:<br />
<br />
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ<br />
<br />
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:<br />
<br />
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ<br />
<br />
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)<br />
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:<br />
<br />
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ <br />
<br />
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:<br />
<br />
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ <br />
<br />
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.<br />
<br />
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287). <br />
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. <br />
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:<br />
<br />
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ <br />
<br />
“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.<br />
<br />
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).<br />
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. <br />
<br />
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:<br />
<br />
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ<br />
<br />
“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).<br />
</div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-33838172911833990522010-12-11T16:05:00.000-08:002010-12-11T16:05:08.790-08:00Hindari Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat dengan Makna Zahirnya Saja<div class="mbl notesBlogText clearfix" style="text-align: justify;">Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :<br />
<br />
]<strong> </strong><strong>هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ </strong>[<strong> (ءال عمران : 7)</strong><br />
<br />
Maknanya : "<em>Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal</em>" (Q.S. Al Imran : 7)<br />
<br />
<br />
<strong>I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat</strong><br />
<br />
<strong> <em>Al Muhkam</em>: </strong><strong>المتضح المعنى</strong><strong> ; yang jelas maknanya. </strong><br />
<strong> <em>al Mutasyabih</em>: </strong><strong>ما ليس بمتضح المعنى</strong><strong>; yang tidak jelas maknanya.<strong>[1]</strong></strong><br />
<br />
<strong> Jadi Ayat-ayat Muhkamat</strong> : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :<br />
<br />
<strong>﴿ لَيْسَ </strong><strong>كَمِثْلِهِ شَىءٌ </strong><strong>﴾ (سورة الشورى: </strong><strong>۱۱</strong><strong>) </strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)</em>”. (Q.S. asy-Syura: 11)<strong> </strong><br />
<strong> </strong><br />
<strong>﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة الإخلاص :4) </strong> <strong> </strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak </em><em>ada satupun yang menyekutui-Nya</em>”. (Q.S. al Ikhlash : 4)<strong> </strong><br />
<br />
<strong> ﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة مريم :65)</strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Allah tidak ada serupa bagi-Nya</em>”. (Q.S. Maryam : 65)<strong> </strong><br />
<br />
<strong> </strong><strong>Ayat-ayat Mutasyabihat</strong> : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :<br />
<br />
<strong>﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ (سورة طه :5)</strong><br />
<br />
Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam ayat<br />
<br />
<strong>﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ (سورة ءال عمران : 7) </strong><br />
<br />
Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah <strong>الله</strong> adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa'<strong>) </strong>Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah <em>shallallahu 'alayhi wasallam</em> bersabda :<br />
<br />
<strong> " اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" </strong>(حديث ضعيف ضعفا خفيفا)<strong> </strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah terhadap yang </em><em>mutasyabihat</em><em> </em><em>dalam Al Qur'an</em>". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini <em>dla'if </em>dengan kedla'ifan yang ringan.<br />
<br />
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah [ <strong> وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ</strong> ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "<em>Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya</em>".<br />
<br />
<br />
<strong>II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat</strong><br />
<br />
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :<br />
<br />
<strong>Pertama : Metode Salaf.</strong> Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (<em>takwil ijmali</em>), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat <em>jism</em> (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :<br />
<br />
<strong>﴿ لَيْسَ </strong><strong>كَمِثْلِهِ شَىءٌ </strong><strong>﴾ (سورة الشورى: </strong><strong>۱۱</strong><strong>) </strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)</em>”. (Q.S. asy-Syura: 11)<strong> </strong><br />
<strong> </strong><br />
<strong> </strong><em>Takwil ijmali</em> ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :<br />
<br />
<strong>" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ </strong>r<strong> عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "</strong><br />
<br />
"<em>Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah </em><em>r</em><strong> </strong><em>sesuai dengan maksud Rasulullah</em>", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.<br />
<br />
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (<em>takwil tafshili</em>) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :<br />
<br />
<strong>" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، </strong><strong>كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ</strong><strong> ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.</strong><br />
<br />
"<em>Surat al Qashash, </em><strong>كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ</strong> <em> (Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya </em><br />
<em>atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya</em>". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti <em>dlahik</em> yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (<em>ar-Rahmah al Khashshah</em>).<br />
<br />
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah : [ <strong>رَبُّكَ</strong> <strong>﴿ وَجَاءَ</strong> secara <em>tafshili </em>(terperinci), ia mengatakan : <em>yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) </em>". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya <em>Manaqib Ahmad</em>. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya <em>al Wasyyu al Mu'lam</em>. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.<br />
<br />
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (<em>tafshili</em>), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.<br />
<br />
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya <em>Tabyin Kadzib al Muftari</em>.<br />
<br />
<strong>Kedua : Metode Khalaf.</strong> Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari <em>tasybih</em> (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :<br />
<br />
<strong>﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة ص : </strong><strong>75</strong><strong>)</strong><br />
<br />
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan <em>al Yadayn</em> adalah <em>al 'Inayah</em> (perhatian khusus) dan <em>al Hifzh</em> (memelihara dan menjaga).<br />
<br />
<br />
<strong>III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat</strong><br />
<br />
<strong> </strong>Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode <em>takwil ijmali </em>atau <em>tafshili</em> dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan <em>Musyabbihah </em>(golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat. Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: " <strong>هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ</strong> " - sehingga ayat-ayat Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan paham <em>tasybih</em> pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah <em>shallallahu 'alayhi wasallam</em> bersabda :<br />
<br />
<strong> " إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " </strong>(رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه)<strong> </strong><br />
<br />
Maknanya: “<em>Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam </em><em>Al Imran : 7</em>, <em>waspadai dan jauhi mereka</em>". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)<br />
<br />
Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham <em>tasybih </em>(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Berikut contoh-contoh dari pemahaman <em>tasybih</em> mereka:<br />
<br />
<ul><li>Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: <em>"…pendapat yang sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya</em>". Perkataan ini jelas paham tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang menegaskan:</li>
</ul><br />
<strong>"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات".</strong><br />
<br />
<em>"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).</em><br />
<br />
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan: <strong> </strong><br />
<br />
<strong> " ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر"</strong><strong>.</strong><br />
<br />
"<em>Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir</em>".<br />
<br />
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.<br />
<br />
<ul><li>Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "<strong>استوى على العرش</strong>":</li>
</ul>dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal, tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.<br />
<br />
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.<br />
Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat Allah tertentu: <strong>بذاته</strong> dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:<br />
<br />
<strong>"ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين".</strong><br />
<br />
"<em>Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki</em>".<br />
<br />
Padahal sifat <em>'Ayn</em> tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh <em>tatsniyah</em> atau dengan tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami <em>'Ayn</em> tak ubahnya adalah dua mata yang hakiki. Dan jelas <em>'Ayn</em> yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " <strong>عقيدة أهل السنة والجماعة</strong> ". Dalam edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun, M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h. 34: <em>"(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya</em>". Pada h. 35 dikatakan: "<em>Bahwa mata Allah adalah dua…</em>".<br />
<br />
Padahal Ahlussunnah mengimani <em>'Ayn</em> sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab <em>al Asmaa' wa ash-Shifaat</em>[3] menyebutkan bab-bab berikut:<br />
<br />
- (باب ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة ) Bab tentang penetapan <em>Wajh </em>bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.<br />
- (باب ما جاء في إثبات العين صفة لا من حيث الحدقة) Bab tentang penetapan <em>'Ayn</em> bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.<br />
- (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين لا من حيث الجارحة) Bab tentang penetapan <em>Yadayn</em> bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.<br />
<br />
Jadi meski sama-sama menetapkan <em>Wajh, 'Ayn, Yadayn</em> bagi Allah, Ahlussunnah dan golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya. Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-Nya. <em>Wajh </em>bukan muka atau bagian tubuh, <em>'Ayn </em>bukan mata, kelopak mata dan semacamnya, dan <em>Yadayn</em> bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang wahhabi memahami <em>Wajh </em>secara hakiki<em>, 'Ayn</em> secara hakiki, yaitu mata<em>, Yadayn</em> secara hakiki yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata <em>Wajh, 'Ayn</em> dan <em>Yadayn</em> dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinan <em>tasybih</em>; bahwa Allah memiliki anggota badan. Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya dengan mentakwil <em>Wajh</em> sebagai <em>al Mulk</em> (kekuasaan), <em>'Ayn</em> sebagai <em>al Hifzh</em> (pemeliharaan), <em>Yad</em> sebagai <em>al 'Inayah</em> (perhatian khusus), atau <em>al Qudrah</em> (kekuasaan) atau <em>al 'Ahd</em> (janji) dan semacamnya.<br />
<br />
<br />
<strong>IV. Syubhah dan Jawabannya</strong><br />
<br />
<strong> </strong>Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode para ulama <em>salaf ash-Shalih</em>.<br />
<strong>Jawaban:</strong> Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena sangat berbeda antara <em>al Akhdzu bizh-Zhahir</em> (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat) dan <em>Nafyu al kayf 'anillah</em> (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf bukan <em>Itsbatul kayf Lillah</em> (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan <em>al Jahl bi dzalikal kayf</em> (tanpa mengetahui kayf tersebut), tetapi <em>tanzihullah 'anil Kayf</em> (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi ketika memaknai <em>ayat Istiwa'</em> ulama salaf memahami bahwa <em>al Kayf</em> seperti duduk, bersemayam, berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya dinafikan dari Allah. Tetapi golongan Musyabbihah memahami <em>istawa </em>dengan <em>istaqarra</em>; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan <em>tasybih</em>; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam. Jauh berbeda antara <em>Tanzih</em> dan <em>Tasybih</em>, jelas berbeda antara <em>Itsbatul kayf Lillah</em> dengan <em>tanzihullah 'anil Kayf</em>.<strong> </strong>Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan <em>al Kayf Majhul</em>. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. <em>Pertama</em>: riwayat yang berbunyi:<br />
<br />
" الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".<br />
"<em>Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya</em>".<br />
<br />
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang <em>Jayyid</em> (kuat). <em>Kedua</em>: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:<br />
<br />
" الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".<br />
"<em>Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya</em>". (Riwayat ini dituturkan oleh al-Laalka-i)<br />
<br />
Riwayat <em>Wal Kayf Majhul</em> tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4] Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan <em>al Kayf</em> bagi Allah, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang jelas-jelas menafikan <em>Kayf</em> dari Allah dengan mengatakan: بلا كيف ; tanpa berlaku <em>kayf </em>bagi Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik, Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka mengatakan:<br />
<br />
"أمروها كما جاءت بلا كيفية".<br />
"<em>Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai sifat-sifat makhluk</em>". [5]<br />
<em>Wallahu a'lam wa ahkam</em><strong>.</strong><br />
<br />
<br />
<br />
[1] Syekh Zakariyya al Anshari, <em>al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah</em> (Beirut: Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.<br />
<br />
[2] Badruddin Ibnu Jama'ah, <em>I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil</em> (Kairo: Darussalam, 1410 H-1990), h. 107<br />
<br />
[3] Al Hafizh al Bayhaqi<em>, al Asma' Wa ash-Shifaat</em> (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 ) h.319-340.<br />
<br />
[4] Syekh Abdullah al Harari, <em>ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim</em> (Beirut: tp, 1397 H), h. 36<br />
<br />
[5] Ibid., h. 56<br />
Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :<br />
<br />
]<strong> </strong><strong>هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ </strong>[<strong> (ءال عمران : 7)</strong><br />
<br />
Maknanya : "<em>Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal</em>" (Q.S. Al Imran : 7)<br />
<br />
<br />
<strong>I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat</strong><br />
<br />
<strong> <em>Al Muhkam</em>: </strong><strong>المتضح المعنى</strong><strong> ; yang jelas maknanya. </strong><br />
<strong> <em>al Mutasyabih</em>: </strong><strong>ما ليس بمتضح المعنى</strong><strong>; yang tidak jelas maknanya.<strong>[1]</strong></strong><br />
<br />
<strong> Jadi Ayat-ayat Muhkamat</strong> : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :<br />
<br />
<strong>﴿ لَيْسَ </strong><strong>كَمِثْلِهِ شَىءٌ </strong><strong>﴾ (سورة الشورى: </strong><strong>۱۱</strong><strong>) </strong><br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)</em>”. (Q.S. asy-Syura: 11)<strong> </strong><br />
<strong> </strong><br />
<strong>﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة الإخلاص :4) </strong> <strong> </strong><br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak </em><em>ada satupun yang menyekutui-Nya</em>”. (Q.S. al Ikhlash : 4)<strong> </strong><br />
<br />
<strong> ﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة مريم :65)</strong><br />
Maknanya: “<em>Allah tidak ada serupa bagi-Nya</em>”. (Q.S. Maryam : 65)<strong> </strong><br />
<br />
<strong> </strong><strong>Ayat-ayat Mutasyabihat</strong> : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :<br />
<strong>﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾ (سورة طه :5)</strong><br />
Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam ayat<br />
<strong>﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ (سورة ءال عمران : 7) </strong><br />
Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah <strong>الله</strong> adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa'<strong>) </strong>Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah <em>shallallahu 'alayhi wasallam</em> bersabda :<br />
<strong> " اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" </strong>(حديث ضعيف ضعفا خفيفا)<strong> </strong><br />
Maknanya: “<em>Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah terhadap yang </em><em>mutasyabihat</em><em> </em><em>dalam Al Qur'an</em>". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini <em>dla'if </em>dengan kedla'ifan yang ringan.<br />
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah [ <strong> وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ</strong> ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "<em>Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya</em>".<br />
<br />
<br />
<strong>II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat</strong><br />
<br />
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar :<br />
<br />
<strong>Pertama : Metode Salaf.</strong> Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (<em>takwil ijmali</em>), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat <em>jism</em> (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :<br />
<br />
<strong>﴿ لَيْسَ </strong><strong>كَمِثْلِهِ شَىءٌ </strong><strong>﴾ (سورة الشورى: </strong><strong>۱۱</strong><strong>) </strong><br />
Maknanya: “<em>Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)</em>”. (Q.S. asy-Syura: 11)<strong> </strong><br />
<strong> </strong><br />
<strong> </strong><em>Takwil ijmali</em> ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :<br />
<br />
<strong>" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ </strong>r<strong> عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "</strong><br />
"<em>Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah </em><em>r</em><strong> </strong><em>sesuai dengan maksud Rasulullah</em>", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.<br />
<br />
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (<em>takwil tafshili</em>) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :<br />
<br />
<strong>" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، </strong><strong>كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ</strong><strong> ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.</strong><br />
<br />
"<em>Surat al Qashash, </em><strong>كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ</strong> <em> (Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya </em><br />
<em>atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya</em>". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti <em>dlahik</em> yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (<em>ar-Rahmah al Khashshah</em>).<br />
<br />
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah : [ <strong>رَبُّكَ</strong> <strong>﴿ وَجَاءَ</strong> secara <em>tafshili </em>(terperinci), ia mengatakan : <em>yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) </em>". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya <em>Manaqib Ahmad</em>. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya <em>al Wasyyu al Mu'lam</em>. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.<br />
<br />
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (<em>tafshili</em>), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.<br />
<br />
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya <em>Tabyin Kadzib al Muftari</em>.<br />
<br />
<strong>Kedua : Metode Khalaf.</strong> Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari <em>tasybih</em> (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :<br />
<br />
<strong>﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ</strong><strong> </strong><strong>﴾ (سورة ص : </strong><strong>75</strong><strong>)</strong><br />
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan <em>al Yadayn</em> adalah <em>al 'Inayah</em> (perhatian khusus) dan <em>al Hifzh</em> (memelihara dan menjaga).<br />
<br />
<br />
<strong>III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat</strong><br />
<br />
<strong> </strong>Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode <em>takwil ijmali </em>atau <em>tafshili</em> dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan <em>Musyabbihah </em>(golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat. Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: " <strong>هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ</strong> " - sehingga ayat-ayat Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan paham <em>tasybih</em> pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah <em>shallallahu 'alayhi wasallam</em> bersabda :<br />
<br />
<strong> " إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " </strong>(رواه أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه)<strong> </strong><br />
Maknanya: “<em>Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam </em><em>Al Imran : 7</em>, <em>waspadai dan jauhi mereka</em>". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)<br />
<br />
Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham <em>tasybih </em>(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Berikut contoh-contoh dari pemahaman <em>tasybih</em> mereka:<br />
<br />
<ul><li>Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: <em>"…pendapat yang sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya</em>". Perkataan ini jelas paham tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang menegaskan:</li>
</ul><br />
<strong>"تعالـى (يعني الله) عن الحدود والغايات والأركان والأعضاء والأدوات".</strong><br />
<em>"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).</em><br />
<br />
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan: <strong> </strong><br />
<br />
<strong> " ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر"</strong><strong>.</strong><br />
"<em>Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir</em>".<br />
<br />
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.<br />
<br />
<ul><li>Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "<strong>استوى على العرش</strong>":</li>
</ul>dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal, tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.<br />
<br />
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.<br />
Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat Allah tertentu: <strong>بذاته</strong> dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:<br />
<br />
<strong>"ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين".</strong><br />
"<em>Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki</em>".<br />
<br />
Padahal sifat <em>'Ayn</em> tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh <em>tatsniyah</em> atau dengan tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami <em>'Ayn</em> tak ubahnya adalah dua mata yang hakiki. Dan jelas <em>'Ayn</em> yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " <strong>عقيدة أهل السنة والجماعة</strong> ". Dalam edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun, M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h. 34: <em>"(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya</em>". Pada h. 35 dikatakan: "<em>Bahwa mata Allah adalah dua…</em>".<br />
<br />
Padahal Ahlussunnah mengimani <em>'Ayn</em> sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab <em>al Asmaa' wa ash-Shifaat</em>[3] menyebutkan bab-bab berikut:<br />
<br />
- (باب ما جاء في إثبات الوجه صفة لا من حيث الصورة ) Bab tentang penetapan <em>Wajh </em>bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.<br />
- (باب ما جاء في إثبات العين صفة لا من حيث الحدقة) Bab tentang penetapan <em>'Ayn</em> bagi Allah sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.<br />
- (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين لا من حيث الجارحة) Bab tentang penetapan <em>Yadayn</em> bagi Allah sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.<br />
<br />
Jadi meski sama-sama menetapkan <em>Wajh, 'Ayn, Yadayn</em> bagi Allah, Ahlussunnah dan golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya. Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-Nya. <em>Wajh </em>bukan muka atau bagian tubuh, <em>'Ayn </em>bukan mata, kelopak mata dan semacamnya, dan <em>Yadayn</em> bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang wahhabi memahami <em>Wajh </em>secara hakiki<em>, 'Ayn</em> secara hakiki, yaitu mata<em>, Yadayn</em> secara hakiki yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata <em>Wajh, 'Ayn</em> dan <em>Yadayn</em> dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinan <em>tasybih</em>; bahwa Allah memiliki anggota badan. Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya dengan mentakwil <em>Wajh</em> sebagai <em>al Mulk</em> (kekuasaan), <em>'Ayn</em> sebagai <em>al Hifzh</em> (pemeliharaan), <em>Yad</em> sebagai <em>al 'Inayah</em> (perhatian khusus), atau <em>al Qudrah</em> (kekuasaan) atau <em>al 'Ahd</em> (janji) dan semacamnya.<br />
<br />
<br />
<strong>IV. Syubhah dan Jawabannya</strong><br />
<br />
<strong> </strong>Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode para ulama <em>salaf ash-Shalih</em>.<br />
<strong>Jawaban:</strong> Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena sangat berbeda antara <em>al Akhdzu bizh-Zhahir</em> (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat) dan <em>Nafyu al kayf 'anillah</em> (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf bukan <em>Itsbatul kayf Lillah</em> (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan <em>al Jahl bi dzalikal kayf</em> (tanpa mengetahui kayf tersebut), tetapi <em>tanzihullah 'anil Kayf</em> (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi ketika memaknai <em>ayat Istiwa'</em> ulama salaf memahami bahwa <em>al Kayf</em> seperti duduk, bersemayam, berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya dinafikan dari Allah. Tetapi golongan Musyabbihah memahami <em>istawa </em>dengan <em>istaqarra</em>; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan <em>tasybih</em>; menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam. Jauh berbeda antara <em>Tanzih</em> dan <em>Tasybih</em>, jelas berbeda antara <em>Itsbatul kayf Lillah</em> dengan <em>tanzihullah 'anil Kayf</em>.<strong> </strong>Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan <em>al Kayf Majhul</em>. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. <em>Pertama</em>: riwayat yang berbunyi:<br />
<br />
" الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إلا صاحب بدعة أخرجوه".<br />
"<em>Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya</em>".<br />
<br />
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad yang <em>Jayyid</em> (kuat). <em>Kedua</em>: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:<br />
<br />
" الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول...".<br />
"<em>Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya</em>". (Riwayat ini dituturkan oleh al-Laalka-i)<br />
<br />
Riwayat <em>Wal Kayf Majhul</em> tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4] Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan <em>al Kayf</em> bagi Allah, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang jelas-jelas menafikan <em>Kayf</em> dari Allah dengan mengatakan: بلا كيف ; tanpa berlaku <em>kayf </em>bagi Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik, Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka mengatakan:<br />
<br />
"أمروها كما جاءت بلا كيفية".<br />
"<em>Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai sifat-sifat makhluk</em>". [5]<br />
<em>Wallahu a'lam wa ahkam</em><strong>.</strong><br />
<br />
<br />
<br />
[1] Syekh Zakariyya al Anshari, <em>al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah</em> (Beirut: Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.<br />
<br />
[2] Badruddin Ibnu Jama'ah, <em>I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil</em> (Kairo: Darussalam, 1410 H-1990), h. 107<br />
<br />
[3] Al Hafizh al Bayhaqi<em>, al Asma' Wa ash-Shifaat</em> (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 ) h.319-340.<br />
<br />
[4] Syekh Abdullah al Harari, <em>ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim</em> (Beirut: tp, 1397 H), h. 36<br />
<br />
[5] Ibid., h. 56<br />
<br />
<br />
<br />
<a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=170093269674257&id=351534640896&ref=mf"> http://www.facebook.com/note.php?note_id=170093269674257&id=351534640896&ref=mf</a><br />
<div class="photo photo_none"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs1157.snc4/149965_464923705896_351534640896_5409053_1817108_n.jpg" /></div></div></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-39231099928743023272010-12-11T09:58:00.000-08:002010-12-11T09:58:10.773-08:00Mewaspadai Tumbuh Kembalinya Ajaran-ajaran Khawarij<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcMeOtfymD_nLnXyOiXvQveHoyPNTRs1BOFHpLVM_FWXFsQGPg_lM4vtZxKCQpwG6mcd7OyM73WWDpbYo5QQD2zwyT19dK4-aL55df49ZLjcjW5xWhts9Mleb1GvWherZt51mpe3njuCI/s1600/bahaya-khawarij.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="245" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcMeOtfymD_nLnXyOiXvQveHoyPNTRs1BOFHpLVM_FWXFsQGPg_lM4vtZxKCQpwG6mcd7OyM73WWDpbYo5QQD2zwyT19dK4-aL55df49ZLjcjW5xWhts9Mleb1GvWherZt51mpe3njuCI/s320/bahaya-khawarij.png" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di akhir zaman ini banyak berkembang faham-faham yang terkadang satu sama lainnya saling menyesatkan. Ironisnya, klaim sesat seringkali dilontarkan oleh mereka yang sama sekali tidak mengetahui ilmu agama. Lebih parah lagi, klaim sesat seringkali mereka dilontarkan kepada mayoritas umat Islam yang notabene kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Padahal ajaran yang diyakini mayoritas umat Islam ini telah mapan dan telah turun-temurun antar generasi ke generasi dengan mata rantai (Sanad) yang bersambung kepada Rasulullah. Persoalan-persoalan yang seringkali mereka angkat sangat beragam, dari mulai perkara-perkara pokok dalam masalah akidah (Ushuliyyah), hingga masalah-masalah cabang hukum agama (Furu’iyyah). Praktek Peringatan Maulid Nabi, Tahlil, Ziarah Kubur, Tawassul dan Tabarruk adalah di antara contoh beberapa masalah yang seringkali “diserang” oleh mereka.<br />
<br />
Pada dasarnya mereka yang seringkali mengklaim kelompok di luar mereka sebagai kelompok sesat adalah “orang-orang bingung’, “orang-orang yang tidak memiliki pijakan”, dan sama sekali tidak paham terhadap cara beragama mereka sendiri. Seringkali dalm propagandanya mereka berkata: “Kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”, atau berkata: “Madzhab saya adalah al-Qur’an dan Sunnah”, padahal mereka sama sekali tidak memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Bagaimana mungkin mereka akan dapat memahami kandungan al-Qur’an dan hadits sementara tidak sedikit dari mereka yang membaca tulisan Arab saja sangat “belepotan”. Bahkan seringkali untuk memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi mereka hanya bersandar kepada terjemahan-terjemahan belaka. Sama sekali mereka tidak paham siapa seorang mujtahid, dan apa syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Namun demikian mereka memposisikan diri laksana seorang ahli ijtihad. Hasbunallah.<br />
<br />
Yang paling parah, keyakinan yang dibawa oleh mereka dan diajarkan oleh mereka kepada masyarakat awam adalah akidah tasybih. Akidah tasybih adalah akidah sesat berisi penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ungkapan-ungkapan buruk dalam penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya dan sangat menyesatkan yang berkembang di sebagian masyarakat kita adalah hasil “jerih payah” propaganda mereka. Seperti perkataan “Terserah yang di atas”, atau “Allah bersemayam di atas ‘arsy”, atau “Allah berada di langit”, atau “Allah duduk di atas ‘arsy”, atau “Allah bergerak turun dan naik”, dan berbagai ungkapan tasybih lainnya. Sangat ironis, keyakinan sesat semacam ini telah berkembang di sebagian masyarakat kita. Sementara akidah tanzih; akidah yang telah diajarkan Rasulullah berisi keyakinan bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, bahwa Allah bukan benda dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, serta bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sudah semakin diabaikan. Wa La Haula Wa La Quwwata Illa Billah.<br />
<br />
Benar, ini dalah “penyakit akhir zaman” yang harus kita waspadai dan kita perangi. Salah seorang ulama terkemuka bernama Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H, lihat biografi beliau dalam al-Durar al-Kaminah, karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, j. 4, h. 198) dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588, mengutip perkataan al-Khalifah ar-Rasyid ‘Ali ibn Abi Thalib, menuliskan sebagai sebagai berikut:<br />
<br />
سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ: يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء (رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ، ص 588)<br />
<br />
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amir al-Mu’minin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588)<br />
<br />
Di antara tanda-tanda kaum Khawarij yang dilaknat oleh Rasulullah, -sebagaimana telah beliau sabdakan dalam haditsnya-, ialah bahwa mereka “Anak-anak muda yang memiliki mimpi yang sangat bodoh”, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka. Iman mereka benar-benar “dangkal”. Rasulullah mengatakan jika kalian bertemu dengan orang-orang semacam ini maka perangilah mereka. (HR. al-Bukhari).<br />
<br />
Semoga Allah senantiasa memelihara iman kita hingga akhir hayat kita. Semoga Allah selalu mencurahkan rasa cinta bagi kita kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan para ulama saleh yang telah mendahului kita. Serta semoga kita dijadikan orang-orang yang selalu memegangteguh ajaran-ajaran mereka. Amin Bi Haqq an-Nabi Muhammad Thaha al-Amin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Wa Shallalah ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam.<br />
Wa al-Hamd Lillah Rabbil ‘Alamin</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=112550025428582&id=351534640896&ref=mf">http://www.facebook.com/note.php?note_id=112550025428582&id=351534640896&ref=mf</a></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-79801222967207940632010-12-11T09:39:00.000-08:002010-12-11T09:39:35.707-08:00Ibn Al-Jauzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih<div class="uiHeader uiHeaderBottomBorder mbm" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="photo photo_none" style="text-align: justify;"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs005.snc4/33610_447959775896_351534640896_5119718_5053740_n.jpg" style="width: 393px;" /></div></div><div class="photo photo_none" style="text-align: justify;"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/hs374.ash2/65253_447959865896_351534640896_5119719_5368938_n.jpg" style="width: 393px;" /></div></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><i>Kitab ini berjudul "Talbis Iblis", [ artinya Membongkar Tipu Daya Iblis ], karya al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H), salah seorang ulama terkemuka (--bahkan rujukan--) dalam madzhab Hanbali.</i></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terjemahan yang diberi tanda:<br />
<br />
<br />
</div><blockquote> "Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [--dengan pemahaman yang salah--] dari hadits nabi: "Yanzil Allah Ila Sama' ad Dunya", mereka berkata: "Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah".</blockquote><div style="text-align: justify;"><br />
<br />
</div><blockquote> Mereka memahami makna "nuzul" (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (meterial). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul "Minhaj al Wushul Ila 'Ilm al Ushul".</blockquote><div style="text-align: justify;"><br />
<br />
<b>Imam Ibn al Jawzi al Hanbali </b>menegaskan bahwa KEYAKINAN ALLAH BERTEMPAT DI ATAS ARSY ADALAH KEYAKINAN MUSYABBIHAH. Lihat, beliau adalah ulama besar dalam madzhab Hanbali, hidup jauh sebelum datangnya Ibnu Taimiyah dengan faham-faham Tasybih-nya. Ratusan tahun sebelum datang Muhammad bin Abdil Wahhab dengan faham-faham Tajsim-nya.......<br />
<br />
<br />
<br />
Orang2 wahabi berkeyakinan Allah bertempat di atas arsy dan mereka mengaku AHLUSSUNNAH, mereka mengaku BERMADZHAB HANBALI.. heh.. dari mana "nyambungnya"???? Biar jelas yaaaa; aqidah Wahabi itu sama dengan aqidah Hasyawiyyah, Karramiyyah, Mujassimah, Bayaniyyah, dan sekte-sekte kaum Musyabbihah lainnya...<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Catatan Penting:</b><br />
<br />
<br />
<br />
<b>Ibn al-Jauzi </b>adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali.<br />
<br />
<br />
<br />
Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan <b>Ibn Qayyim al-Jauziyyah</b>. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan.<br />
<br />
<br />
<br />
Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.<br />
<br />
<br />
<br />
sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...<br />
<br />
<br />
<br />
Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">http://www.facebook.com/note.php?note_id=164430070240577&id=351534640896&ref=mf </div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-26802061020702141012010-12-09T14:51:00.000-08:002010-12-09T14:51:17.640-08:00Penggunaan Tasbih Dalam Berdzikir Bukanlah Bid'ah Sesat<div></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgInmMrV0optetl8OHWArB16djg9z1PpDT6TpTnYGxilcWn5dXMNmp1lPhCaENWSNlRaG6A_Nq_njcwh-xVXN6PGLZqn_3geF_xZH0C2KFkdEQ14zo4R7iCpHs849Vc1odWzIxEa4sAVaM/s1600/540ae05a8ea7737c6b42c5501a311d12.wix_mp.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgInmMrV0optetl8OHWArB16djg9z1PpDT6TpTnYGxilcWn5dXMNmp1lPhCaENWSNlRaG6A_Nq_njcwh-xVXN6PGLZqn_3geF_xZH0C2KFkdEQ14zo4R7iCpHs849Vc1odWzIxEa4sAVaM/s1600/540ae05a8ea7737c6b42c5501a311d12.wix_mp.jpg" /></a></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan <i>Tasbih </i>waktu berdzikir. Sudah tentu </span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">sebagaimana kebiasaan golongan ini</span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat </span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">karena menurut paham mereka</span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">‘Tasbih’</span></i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘<i>Subhah’</i> adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama <i>Jibmala </i>yang berarti hitungan dzikir.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Orang berbeda pendapat mengenai <i>asal-usul</i> penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan <i>Subhanallah</i>, tiga puluh tiga kali <i>Alhamdulillah </i>dan tiga puluh tiga kali <i>Allahu Akbar,</i> kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid <i>‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’</i>. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">A.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir</span></i></b></span><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="ListParagraph" style="line-height: 14.4pt; margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan: </span></span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”.</span></i></b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari <i>Bisrah</i>, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata: </span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (</span></i></b><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">berdzikir)<i>, bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” </i>.</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Perhatikanlah</span></i></b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">: <i>Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti <b>melarang</b> orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!</i> </span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari <i>Shofiyyah</i> yang mengatakan: <b>“Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat <i>empat ribu butir biji kurma</i> yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; <i>‘Hai binti Huyay, apakah itu</i> ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; <i>‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’</i>. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘<i>Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’</i> ”. (Hadits <i>shohih</i>).</b></span></span><b><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits <i>hasan/baik</i> oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:</span></span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt -18pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat <i>banyak batu kerikil</i> yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘<i>Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?</i>’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :</span></b><b><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan <i>biji kurma </i>untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. <b>tidak</b> <b>melarangnya </b>atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya <i>engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu</i> !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan <i>batu kerikil</i> untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, <i>buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !</i></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan mereka.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Banyak riwayat bahwa para <b>sahabat Nabi saw</b>. dan kaum <b>salaf</b> yang sholeh pun menggunakan <i>biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang</i> dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !! </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Imam Ahmad bin Hanbal didalam <i>Musnadnya</i> meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama <i>Abu Shofiyyah</i> menghitung dzikirnya dengan <i>batu-batu kerikil.</i> Riwayat ini dikemukakan juga oleh <i>Imam Al-Baihaqi </i>dalam <i>Mu’jamus Shahabah; <b>”</b></i><b>‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah <i>kantong berisi batu-batu keriki</i>l, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.</b></span></span><b><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">5.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Abu Dawud meriwayatkan; <b>‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi <i>batu kerikil.</i> Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’</b>. </span></span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="ListParagraph" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">6.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; <b><i>‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.</i></b></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">7.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; <b><i>‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’. </i></b></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">8.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Abu Syaibah juga mengatakan; <b><i>‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’. </i></b></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="ListParagraph" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">9.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; <b><i>‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.</i></b></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">10.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; <b><i>“bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “. </i></b></span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="ListParagraph" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 0cm; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">11.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: <b><i>‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.</i></b></span></span><b><i><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></i></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 27pt 0.0001pt 36pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><b><i><span lang="NL" style="color: black; font-family: Arial; font-size: 12pt;">B.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></i></b><span dir="LTR"><b><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Tidak ada Larangan terhadap penggunaan Tasbih dalam Dzikir</span></b></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh <i>Az-Zabidi</i> yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab <i>Tajul-‘Arus </i>. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: <i>‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih</i> ?. Al-Junaid menjawab: <i>‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’</i>.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah). </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. <i>Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf </i>(generasi muslimin berikutnya)<i> yang menyebutkan adanya <b>larangan penggunaan tasbih</b>, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!</i> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah <i>lebih praktis dan mudah</i> dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung <i>jumlah dzikir a</i>gama Islam <b>tidak </b><i>menetapkan cara tertentu. </i>Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah <b>sah/boleh</b>. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang <b>tetap menggunakan tangan atau jarinya juga</b>, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir. </span><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘<i>bid’ah dholalah’. </i>Yang perlu kita ketahui ialah : <b><i>Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?</i></b> </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. <b>Akan tetapi</b> Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan <i>tasbih</i> lebih afdhal.</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan <i>tangan kanan</i>, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. <i>Allah swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!!</i> Wallahu a’lam. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="NL" style="color: black; font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-right: 27pt; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span lang="NL" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.</span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-38206147839598587422010-12-08T13:56:00.000-08:002010-12-09T14:42:14.972-08:00DAFTAR ISI BLOG KTB<script style="text/javascript" src="http://www.abu-farhan.com/script/daftarisiblogger/blogtoc-min.js"></script><br />
<script src="http://www.kenapatakutbidah.co.cc/feeds/posts/default?max-results=9999&alt=json-in-script&callback=loadtoc"></script>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-37467120660871216972010-12-07T20:48:00.000-08:002010-12-07T20:48:45.863-08:00Masalah Qunut pada Shalat Shubuh<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq046HafnMth8JQ7hhfGjFVewy0vQ73bwwVq_ytMGsxGPrQqUvwINOBR_-sRna8I6ZRhgk8V1o5KArevPwsf0Cg01WYId6byRpPmEtdjOJspy8NbT7FUG2M5g66G0A-x0qY3yTbfoMwyk/s1600/image00112.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq046HafnMth8JQ7hhfGjFVewy0vQ73bwwVq_ytMGsxGPrQqUvwINOBR_-sRna8I6ZRhgk8V1o5KArevPwsf0Cg01WYId6byRpPmEtdjOJspy8NbT7FUG2M5g66G0A-x0qY3yTbfoMwyk/s1600/image00112.jpg" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Masalah Qunut pada sholat shubuh termasuk persoalan-persoalan fiqih cabang yang tidak sepatutnya menjadikan kaum muslim terpecah belah dan saling bermusuhan karenanya. Dalam menjelaskan masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat tentangnya. Para ulama madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki Sunnah. Sementara, para ulama madzhab Hanafi dan Madzhab Hambali berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh.</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span">Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa qunut pada shalat subuh itu disyariatkan menurut madzhab kami. Hukumnya sunnah muakkad, karena hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik Ra,</span><br />
<br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
<span class="apple-style-span">“Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada shalat subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”</span><br />
<span class="apple-style-span">(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. III, hal 162; Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110; Daraquthni, Sunan Daruquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsani di dalam Majma’ Al-Zawaid, vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-arba’in, dan dia berkata, “Hadits shahih; para periwatnya seluruhnya adalah orang-orang yang tsiqah.”)</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Mereka berkata seandainya meninggalkannya, shalatnya tidak batal. Akan tetapi, ia harus melakukan sujud sahwi, baik ia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Berkenaan dengan hukum qunut shalat subuh, banyak perkataan-perkataan dan bentuk-bentuk qunut yang dikutip dari sebagian sahabat dan kalangan tabi’in. Di antaranya adalah pendapat Ali bin Ziyad uang menyatakan wajib melakukan qunut pada shalat subuh. Jadi apabila dia meninggalkannya, shalatnya batal. Dan boleh dilakukan sebelum ruku’ atau sesudahnya pada roka’at kedua. Akan tetapi, yang disunnahkan dan lebih utama adalah melakukannya sebelum ruku’ setelah selesai membaca ayat, tanpa bertakbir sebelumnya. Hal itu, karena padanya terkandung unsur toleransi kepada orang yang masbuq. Tidak dibedakan antaranya dengan dua rukun shalat (yang ditandai dengan takbir). Dan qunut telah menjadi ketetapan yang diamalkan pada zaman Umar Ra dengan kehadiran para sahabat.</span><br />
<span class="apple-style-span">Qadhi Abdul Wahhab al-Baghdadi berkata, “Diriwayatkan dari Abu Raja Al-Atharidi bahwa dia berkata, “Pada awalnya qunut itu dilakukan setelah ruku’. Lalu Umar menjadikannya sebelum ruku’ agar orang yang mengejar shalat (jama’ah) bisa mendapatnkannya. Dan diriwayatkan bahwa golongan Muhajirin dan Anshar meminta hal itu kepada Utsman. Dia pun menjadikannya sebelum ruku’ karena didalam hal itu terdapat faidah yang tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu yang tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu posisi berdiri yang lama sehingga orang yang terlambat datang bisa mendapatkan raka’at. Maka sebelum ruku’ lebih utama dengan alasan itu, terlebih lagi pada shalat subuh.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Menjadi rajih dan kuat pendapat Madzhab Syafi’i mengenai qunut karena kuatnya dalil-dalil mereka sebagai berikut:</span><br />
<span class="apple-style-span">• Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ pada saat shalat subuh di raka’at yang kedua, beliau pun berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk....(hingga akhir).” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan ungkapan, “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan.” Dan, Thabrani menambahkan, “Dan tidak mulia orang yang menentang-Mu.”</span><br />
<span class="apple-style-span">HR. Hakim, Al-Mustadrak, vol. IV, hlm. 298; Baihaqi, Al-Sunan Ash-Shugra vol. I, hlm. 276; Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, vol. VII, hlm. 232; dan disebutkan oleh Ash-Sha’ani, Subul Al-Salam, vol. I, hlm. 186-187</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">• Hadits Anas bin Kalik Ra bahwa, “Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada sahalat subuh sampai beliau meninggalkan dunia.” ¹ Dan Annas ditanya, “Apakah Rasulullah Saw melakukan qunut pada shalat subuh?” Dia menjawab, “Benar.” Ditanyakan lagi kepadanya, “Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’?” Dia menjawab, “Setelah ruku’.” ²</span><br />
<span class="apple-style-span">¹ HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. III, hlm. 162; Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110; Daraquthni, Sunan Daraquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-Arba’in, dan dia berkata, “Hadits Shahih; para periwayatnya seluruhnya adalah orang-orang yang Tsiqah.”</span><br />
<span class="apple-style-span">² HR. Muslim, Shahih Muslim, vol. !, hlm. 486; dan Abu Daud, Sunan Abu Daud, vol. II, hlm. 68</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">• Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra; dia berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling dekat diantara kalian dalam shalat dengan Rasulullah Saw”. Dan Abu Hurairah melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat subuh setelah dia mengucapkan sami‘allahu liman hamidah, berdoa bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan melaknat orang-orang kafir.</span><br />
<span class="apple-style-span">HR. Baihaqi, As-Sunan Ash-Shugra, vol. I, hlm. 277, cet. Maktabah Al-Dar</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">• Dari Abdullah bin Abbas Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepada kami doa yang kami panjatkan didalam qunut pada shalat subuh:</span><br />
<span class="apple-style-span">“Ya Allah berilah petunjuk kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, vol. II, hlm. 210, cet. Maktabah Al-Baz</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">• Dan pada hadits, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari raka’at yang kedua, Beliau pun mengangkat kedua tangan dan berdoa dengan do’a ini: Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk.” Didalam riwayat lain, “Bahwa apabila Beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di raka’at yang terakhir, Beliau melakukan qunut.”</span><br />
<span class="apple-style-span">Imam Syuyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, vol. I, hlm. 157, cet. Thair al-Ilmi. Syaikh al-Albani berkata, “Hadits shahih.” Lihat, Al-Albani, Shahih al-Jami’, 4730.</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Adapun lafaz doa qunut, maka yang dipilih adalah apa yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada shalat witir,</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">“Allahummah dina fiman hadait, Wa afina fiman afait, Wa tawal lana fiman tawal lait, Wawaba riklana fi ma a’tait, Waqina syar rama qadait, innaka taqdi wala yukda alaik, inna hu laa yazillu man walait, Taba rakta rabbana wata alait.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">“Ya Allah berilah petunjuk kepada kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Para</span><span class="apple-style-span"> ulama menambahkan padanya,</span><br />
<span class="apple-style-span">“Wala yaizzu man adait”,</span><span class="apple-converted-space"> </span><br />
<span class="apple-style-span">“Dan tidak mulai orang-orang yang menentang-Mu,”</span><span class="apple-converted-space"> </span><br />
<span class="apple-style-span">Serta:</span><br />
<span class="apple-style-span">“Falakal hamdu ala maa qadait astaghfirka wa atuubu ilaik”</span><br />
<span class="apple-style-span">“Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan; aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.</span><br />
<span class="apple-style-span">Sebelum :</span><br />
<span class="apple-style-span">“Taba rakta rabbana wata alait.”</span><br />
<span class="apple-style-span">“Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Dalam Raudlah Ath-Thalibin, Imam Nawawi berkata, ”Para sahabat kami (ulama madzhab) berkata, “Tidak mengapa dengan tambahan ini.” Abu Hamid, al-Bandaniji, dan lain-lain berkata dalam Nihayat Al-Muhtaj, vol. I, hlm. 503 mengatakan, “Sunnah.”. Dan disunnahkan agar dia mengucapkan setelah doa tersebut, “ Ya Allah, limpahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, serta salam sejahtera”. Dan itu menurut pendapat yang shahih dan Masyhur.</span><br />
<span class="apple-style-span">Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan, bahwa pendapat Madzhab Syafi’i kuat dan rajih, yaitu qunut di dalam shalat subuh itu sunnah; disunnahkan bagi orang yang meninggalkannya agar melakukan sujud sahwi untuk menggantikannya. Akan tetapi, tidak batal shalat dengan meninggalkannya. Dan Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui.</span><br />
<br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">وهو اللهم اهدني فيمن هديت إلى آخره كذا في المحرر وتتمته كما في الشرح وعافني فيمن عافيت وتولني فيمن توليت وبارك لي فيما أعطيت وقني شر ما قضيت فإنك تقضي ولا يقضى عليك إنه لا يذل من واليت تباركت ربنا وتعاليت قال الرافعي وزاد العلماء فيه ولا يعز من عاديت قبل تباركت وتعاليت قال في الروضة وقد جاءت في رواية للبيهقي وبعده فلك الحمد على ما قضيت أستغفرك وأتوب إليك زاد في الروضة قال جمهور أصحابنا لا بأس بهذه الزيادة وقال أبو حامد والبندنيجي وآخرون مستحبة</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span">(Nihayatul Muhtaj)</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">(dikutip dari: Al-Bayan Al-Qawim li Tashih Ba’dhi Al-Mufahim, Syekh Ali Jumu’ah, Mufti Mesir serta sumber berbagai lainnya)</span><br />
<br />
<span class="apple-style-span">Semoga bermanfaat.......</span></span><span lang="EN-GB" style="font-size: 11pt;"></span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-10969086564028176672010-12-07T05:53:00.000-08:002010-12-07T05:53:16.101-08:00Makna dan Esensi Memperingati Maulid Nabi SAW<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOF43rbWpYadgGIEV5yf-SD-X_cSs6uj6TO8D8KBdqJeLP-VBZQ80pOFyZ49BtPMwydxWDWhBtU2oguPhQ6ROInPzHgwh6-f2ue1J0zVLhJtYAR5_QLaMB6dz0PV7el1peTga07hacP8M/s1600/2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOF43rbWpYadgGIEV5yf-SD-X_cSs6uj6TO8D8KBdqJeLP-VBZQ80pOFyZ49BtPMwydxWDWhBtU2oguPhQ6ROInPzHgwh6-f2ue1J0zVLhJtYAR5_QLaMB6dz0PV7el1peTga07hacP8M/s320/2.jpg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><span lang="EN-GB" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Loh.. Bukankah Merayakan Maulid Nabi itu Tidak Boleh???<br />
</span></b><span lang="EN-GB" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"><br />
Memang ada di antara kaum muslimin yang mengatakan bahwa Merayakan Maulid Nabi itu tidak boleh, bahkan menyatakan bahwa Merayakan Maulid Nabi itu haram, atau bahkan syirik karena kultus berlebihan kepada Nabi.<br />
<br />
Namun… Dalam syari’at, kita ada qaidah; Laa Tahriim illaa bi Daliil; Tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali memang ada dalil yang mengharamkannya. Contohnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan penggunaan handphone, maka tidak boleh seseorang semena-mena mengharamkan handphone, kecuali memang ada ‘kotoran’ di dalam handphone tersebut yang diharamkan syari’at.<br />
<br />
Nah.. Coba tunjukkan dalil yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Adakah?<br />
<br />
<b>Bukankah Rasulullah bersabda; “Kullu Bid’atin Dholaalatun.” ???<br />
</b><br />
Bukan dalil yang mengharamkan bid’ah dholalah yang kita minta, tetapi dalil yang mengharamkan maulid. Ketika diminta dalil tentang keharaman minuman keras maka jangan tunjukkan dalil yang memerintahkan shalat. Sama halnya, ketika diminta dalil yang mengharamkan maulid maka jangan mengajukan dalil yang mengharamkan bid’ah dholalah..<br />
<br />
<b>Bukankan Perayaan Maulid Nabi itu BID’AH???<br />
</b><br />
Coba perhatikan. Banyak orang salah kaprah, menyangka bahwa perayaan Maulid Nabi itu dimulai pertama kali oleh Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (549 - 630 H), seorang penguasa daerah Irbil.<br />
<br />
Sesungguhnya pernyataan ini kurang tepat. Sebenarnya, hakikat ataupun esensi peringatan Kelahiran Rasulullah saw. sudah ada sejak jaman para Shahabat Rasulullah saw., walaupun dulu belum ada istilah “Perayaan Maulid Nabi Muhammad”, akan tetapi hakikatnya sudah ada sejak dahulu.<br />
<br />
Memang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kumpulan fatwanya (Al-Hawi lil Fatawi), perayaan maulid pertama yang digelar besar-besaran oleh kalangan penguasa adalah perayaan yang digelar oleh Al-Malik Al-Mudzaffar. Disebutkan dalam nushush sejarah, beliau mengundang seluruh kalangan muslimin di daerah itu, para ulama, para umara dan kaum sufi, hingga menyembelih sampai 5000 ekor kambing, 10.000 ekor unggas, dan menyediakan sampai 30.000 piring makanan.<br />
<br />
Setelah itu, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi juga tercatat sebagai penguasa yang menggelar Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. besar-besaran dalam rangka membakar semangat perjuangan, ruhul jihad kaum muslimin.<br />
<br />
Itu semua besar-besaran digelar oleh kalangan para raja, namun perayaan yang digelar oleh rakyat kecil dari kalangan ulama sampai sahabat sudah ada sejak dulu.<br />
<br />
<b>Mana buktinya?<br />
</b><br />
Mau tahu buktinya? Sebelumnya, Kita musti tahu dulu APA MAKNA dan ESENSI PERAYAAN MAULID NABI ITU?<br />
<br />
<b>1. UNGKAPAN KEBAHAGIAAN<br />
</b><br />
Perayaan maulid Nabi Muhammad saw adalah suatu ungkapan kegembiraan, kebahagiaan dari Umat Islam atas kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw., yang membawa kita dari kegelapan menuju cahaya terang benderang.<br />
<br />
Hal yang semacam ini, yakni memperlihatkan kegembiraan atas segala anugerah dari Allah adalah hal yang dianjurkan dalam Al-Quran, surah Yunus:58;<br />
<br />
“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, HENDAKLAH DENGAN ITU MEREKA BERGEMBIRA. karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".<br />
<br />
Dalam ayat tersebut terdapat perintah dari Allah untuk bergembira atas segala macam anugerah yang dikaruniakan Allah swt berupa Rahmat dan Nikmat.<br />
<br />
Kita semua tahu, anugerah terbesar dari Allah bagi manusia, Rahmat Allah bagi alam semesta yang terbesar adalah diutusnya Baginda Rasulullah saw.! Sebab Nabi Muhammad adalah KASIH SAYANG dari ALLAH bagi semesta alam. Cukuplah kabar gembira ini tercakup dalam surah At-Taubah:128;<br />
<br />
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”<br />
<br />
Maka jelas, jika orang mengungkapkan kebahagiaannya, bukanlah sesuatu yang dilarang. Secara khusus, dalam pembahasan ini adalah kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Dan tiap orang berbeda dalam cara mengungkapkannya, ada yang dengan berpuasa, sedekah, shalat, sujud dan lain sebagainya.<br />
<br />
Bahkan, dalam hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabus shiyam, dari sahabat Abi Qatadah, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang alasan beliau berpuasa di hari Senin. Beliau menjawab;<br />
<br />
“Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan.”<br />
<br />
Artinya, beliau berpuasa sebab rasa syukur beliau atas kelahirannya di muka bumi.<br />
<br />
Ada pula yang mengungkapkan kebahagiaannya dengan memerdekakan budak.<br />
<br />
Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya, bahwa ketika Abu Lahab (paman Rasulullah yang merupakan salah seorang penghalang dakwah Islam terbesar) mendengar kelahiran keponakannya, Muhammad Rasulullah saw., Abu Lahab yang sangkin gembiranya, memerdekakan budaknya, Tsuwaybah, yang membawakan kabar gembira tersebut. Sebab inilah, Abu Lahab mendapat keringanan siksa dalam kubur setiap hari Senin karena kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah saw.<br />
<br />
Inilah! Allah tidak melupakan kegembiraan seseorang walaupun hanya sesaat…<br />
<br />
Al-Imam Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashruddin Ad-Dimasyqi mengomentari hal ini,<br />
“Apabila orang semacam Abu Lahab, yang bukan hanya kafir, bahkan satu surah penuh dalam Alquran (Al-Lahab) seakan memberi ‘stempel’ siksa neraka baginya, dia saja bisa mendapatkan keringanan siksa tiap hari Senin… Nah, bagaimana kiranya dengan seorang muslim yang dari sejak kecilnya sudah mengenal cinta kepada Nabi Muhammad saw.???”<br />
<br />
Adapun, kalau kita mau jujur, semua yang dilakukan oleh umat Islam di penjuru dunia, berupa perayaan maulid nabi, tiada lain karena gembira atas kelahiran Rasulullah saw.<br />
<br />
Dan cara mengungkapkannya pun adalah dengan berdzikir, membaca Alquran, bershalawat, mendengarkan sejarah kelahiran dan kehidupan Rasulullah, puji-pujian kepada Allah, syair pujian kepada Rasulullah, kemudian mendengarkan nasihat agama, lantas ditutup dengan doa bersama dan diakhiri dengan makan bersama. Adakah unsur kebathilan atau keharaman di dalamnya? Tidak ada. <br />
Bahkan semua itu dianjurkan oleh syari’at.<br />
<br />
<b>2. PERKUMPULAN DZIKIR<br />
</b><br />
Berapa banyak ayat di dalam Alquran anjuran untuk berdzikir. Ada pula hadits shahih yang sudah masyhur yang menerangkan tentang dzikir, berupa hadits qudsiy yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim; Rasulullah bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman;<br />
<br />
“Aku ini sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadapku. Dan Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat Aku. Jikalau ia mengingat Aku sendirian, maka Aku pun mengingatnya dalam Diri-Ku. Dan kalau ia mengingat Aku di dalam perkumpulan, maka Aku akan mengingat hamba-Ku itu di dalam perkumpulan yang lebih mulia daripada perkumpulannya itu.”<br />
<br />
<b>3. MENDENGARKAN AL-QURAN<br />
</b><br />
Dulu, para sahabat setiap hari mendengarkan Rasulullah membacakan Al-Quran, atau salah satu shahabat membaca ayat Al-Quran dan yang lain menyimak. Bahkan, Rasulullah sendiri suatu ketika memerintahkan kepada Sayyidina Abdullah bin Mas’ud,<br />
<br />
“Ya Abdallah, bacakan untukku Al-Quran.”<br />
<br />
“Ya Rasulallah, bagaimana aku membacakan kepadamu Al-Quran, padahal engkaulah yang diwahyukan <br />
Al-Quran.” Sanggah Abdullah bin Mas’ud.<br />
<br />
“Ya, namun aku suka mendengarkannya dibacakan orang lain.” Jawab Rasulullah.<br />
Sampai beliau membaca ayat ke-41 dari surat Annisa,<br />
<br />
“Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu.”<br />
<br />
“Cukup,” kata Rasulullah menghentikan bacaan sahabatnya saat mendengarkan ayat ini sambil berlinang air mata.<br />
<br />
Adapun yang kita lakukan sekarang dalam Perayaan Maulid Nabi tidak lain adalah seperti yang dilakukan para sahabat bahkan Rasulullah saw sendiri., yakni memperdengarkan dan menyimak Ayat Al-Quran.<br />
<br />
<b>4. MEMBACA SHALAWAT DAN SALAM BAGI NABI<br />
</b><br />
Perintah dari Allah bagi kita untuk bershalawat sudahlah jelas dan cukup dengan surah Al-Ahzab:56 ini;<br />
<br />
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”<br />
Dalam riwayat yang shahih, Rasulullah saw. bersabda, “Tak ada seorang pun di penjuru dunia ini yang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku ke dalam jasadku untuk menjawab salam tersebut.”<br />
<br />
<b>5. MEMPERDENGARKAN SEJARAH KEHIDUPAN NABI<br />
</b><br />
Para sahabat, setiap hari, yang menjadi buah bibir mereka adalah kehidupan Rasulullah saw.<br />
Suatu ketika, para sahabat sedang duduk-duduk, memperbincangkan tentang keutamaan para nabi terdahulu, menyebutkan bahwa Nabi Adam adalah seorang yang mulia, ia diciptakan langsung oleh Allah dari tanah tanpa ayah maupun ibu yang melahirkan. Juga menyebut Nabi Ibrahim yang berkedudukan istimewa di sisi Allah sebagai Khalilullah (Kekasih Allah). Ada juga yang menyebutkan kemuliaan Nabi Musa as., yang bercakap-cakap langsung dengan Allah Ta’ala, dan disebut sebagai Kalimullah. Kemudian ada yang menyebutkan kemuliaan Nabi Isa, yang dilahirkan tanpa seorang ayah dan mendapat gelar Ruhullah.<br />
<br />
Ketika para sahabat tengah asyik memperbincangkan keutamaan para nabi terdahulu, Rasulullah saw yang dari tadi ternyata mendengar percakapan para sahabatnya ini, menghampiri mereka seraya berucap,<br />
<br />
“Benar semua tentang apa yang kalian katakan tentang para nabi terdahulu, tapi ingat.. Akulah pemimpin anak adam (manusia) dan tak ada kebanggaan bagiku. Seluruh manusia akan berada di bawah benderaku di hari kiamat.”<br />
<br />
Adapun yang kita lakukan sekarang dalam Perayaan Maulid Nabi tidak lain adalah seperti yang dilakukan para sahabat bahkan Rasulullah saw sendiri., yakni menceritakan kemuliaan Rasulullah saw.<br />
<br />
<b>6. KHUSUSNYA MENCERITAKAN SAAT KELAHIRAN RASULULLAH SAW.<br />
</b><br />
Karena kelahiran Rasulullah saw. inilah awal dari segala karunia hidayah dari Allah swt. bagi umat Islam. Tidak ada penurunan wahyu jika Rasulullah tidak dilahirkan, tidak ada hijrah, tidak ada fathu makkah, tidak ada syari’at yang diajarkan jika beliau tidak dilahirkan.<br />
<br />
Dan betapa banyak di dalam Al-Quran, bahwa Allah swt. mengisahkan tentang kelahiran para shalihin terdahulu, contohnya; kelahiran Nabi Isa bin Maryam as., bahkan ibunda beliau (Sayyidah Maryam binti ‘Imron) dalam surah Ali ‘Imron dan surah Maryam. Ada juga kisah kelahiran Nabi Musa as. dalam surah Tha-ha. Ada juga tentang kelahiran Nabi Yahya dalam surah Maryam. Bahkan tentang ‘kelahiran’ (penciptaan) Nabiyullah Adam as.<br />
<br />
Dan tentang ini, dalam surah Hud, Allah Ta’ala berfirman,<br />
<br />
“dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”<br />
<br />
Jika kisah-kisah para Nabi terdahulu dapat meneguhkan hati Nabi Muhammad dan kita pengikutnya sebagai kaum mukminin. Apalagi bila yang diceritakan itu adalah kisah kelahiran dan kehidupan serta perjuangan Nabi Muhammad saw., pemimpin seluruh Para Nabi ‘alayhimus shalaatu wassalaam. Lebih-lebih lagi!<br />
<br />
Adapun yang kita lakukan sekarang dalam Perayaan Maulid Nabi tidak lain adalah seperti yang dicontohkan oleh Allah dalam Al-Quran, yakni menceritakan kelahiran serta kehidupan Rasulullah saw. untuk memantapkan keimanan dalam hati kita.<br />
<br />
<b>7. PUJIAN KEPADA RASULULLAH<br />
</b><br />
Disebutkan dalam riwayat At-Thabraniy, bahwa Sayyiduna ‘Abbas ra. datang menemui Rasulullah saw., beliau berkata, “Ya Rasulallah, aku ingin memujimu dengan sya’irku.”<br />
<br />
“Ya, katakanlah wahai Abbas. Semoga Allah swt menjaga dan tidak merontokkan gigimu.” Jawab Rasulullah saw.<br />
<br />
(di kemudian hari, Sayyiduna ‘Abbas meninggal dunia dalam usia tua dan tidak ada satu gigi pun yang rontok ataupun tanggal, berkat do’a Rasulullah saw.)<br />
<br />
Kemudian Sayyiduna Abbas bersyair;<br />
<br />
Duhai Rasulullah, engkaulah cahaya yang Allah ciptakan dan tempatkan dalam sulbi Nabi Adam<br />
Dan engkau turun ke muka bumi bersama turunnya Nabi Adam<br />
Dan ketika bumi ini tenggelam dalam banjir bandang, engkau selamat di dalam sulbi Nabi Nuh di atas bahteranya<br />
Begitulah engkau berpindah dari sulbi laki-laki yang mulia ke dalam wanita-wanita yang suci<br />
Sehingga sampailah engkau ke dalam sulbi Nabi Ibrahim<br />
Dan bagaimana mungkin api dapat membakar ketika Nabi Ibrahim dimasukkan ke dalamnya, sedangkan engkau berada di dalam sulbinya.<br />
Dan ketika engkau dilahirkan, alam semesta ini menjadi terang benderang<br />
Dan saat ini, kami nikmati lezatnya Islam tiada lain sebab kelahiranmu saat itu<br />
<br />
Sehingga, seperti yang diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah istri Rasulullah, tak sedikit di antara para sahabat yang bersyair di hadapan Rasulullah saw., berupa pujian dan sanjungan kepada Rasulullah saw. demi mendapatkan keberkahan doa dari Nabi Muhammad saw. dan Rasulullah tersenyum mendengarkannya.<br />
<br />
<b>MIMBAR BAGI HASSAN BIN TSABIT UNTUK BERSYAIR DAN MEMUJI RASULULLAH SAW.<br />
</b><br />
Dan dalam Shahih Al-Bukhari, disebutkan bahwa diletakkan di dalam Masjid Nabawiy sebuah mimbar bagi Hassan bin Tsabit untuk bersyair,<br />
<br />
(Hassan bin Tsabit adalah seorang sahabat yang berjuang membela Islam dengan syairnya. Sehingga Rasulullah saw bersabda, “Syair Hassan bin Tsabit itu lebih tajam bagi orang kafir daripada pedang kita.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mendukung Hassan bin Tsabit melalui Ruhul Quds selama ia membela Rasulullah saw dengan syairnya.”)<br />
<br />
Adapun mimbar tersebut khusus disediakan oleh Nabi bagi Sayyiduna Hassan bin Tsabit di Masjid Nabawiy untuk menyampaikan syairnya. Nah, dari sini kita tahu, jika sudah memakai mimbar dalam masjid, berarti itu adalah suatu acara yang resmi, dan itu juga berarti bahwa yang hadir banyak sehingga perlu adanya mimbar, dan itu juga berarti bahwa Rasulullah sendiri mengijinkan pembacaan syair tersebut.<br />
<br />
Hal seperti ini sama sekali tidak berbeda dengan apa yang kita lakukan sekarang, berkumpul di suatu tempat atau di dalam masjid, lantas membaca sya’ir pujian bagi Allah dan Rasulullah saw. yang disusun oleh para ulama yang tahu akan syari’atul muthohharoh.<br />
<br />
Bahkan terkadang Rasulullah sendiri memanggil Hassan bin Tsabit untuk bersyair. Pernah suatu kali Hassan sampai membacakan 80 bait syair di hadapan Nabi Muhammad saw.<br />
<br />
Salah satu syairnya;<br />
<br />
Semangat Rasulullah begitu besar, sedikit semangatnya tidak terbandingkan dengan semangat seluruh manusia dari jaman Nabi Adam<br />
Telapak tangan Rasulullah adalah teramat dermawan, andaikan sepersepuluh telapak tangan beliau diletakkan di atas daratan maka daratan itu ‘kan lebih basah dari lautan<br />
Yang lebih bagus darimu tak pernah terlihat oleh mataku, dan yang lebih indah darimu tak pernah terlahirkan oleh wanita manapun<br />
Engkau diciptakan dalam keadaan bersih dari segala aib, seolah-olah engkau tercipta atas kehendakmu sendiri<br />
<br />
<b>BERDIRI DAN MENABUH REBANA KETIKA MEMBACA SYA’IR PUJIAN DALAM MAULID NABI<br />
</b><br />
Dalam riwayat Imam Al-Bayhaqi, pada hari saat Rasulullah saw. masuk di kota Madinah, Rasulullah saw. disambut dengan gegap gempita oleh para shahabat (baik Anshar maupun Muhajirin) sambil berdiri dan dibacakan qashidah Thala’al Badru ‘Alayna.<br />
<br />
Setelah Rasulullah baru sampai di rumah Abu Ayyub Al-Anshari, beberapa wanita dari suku Bani Najjar (keluarga Abu Ayyub) berkumpul di samping rumah Abu Ayyub sambil menabuh rebana (dufuf) dan berqashidah;<br />
<br />
Kami adalah wanita-wanita dari suku Najjar, dan kami teramat bahagia karena Rasulullah kini menjadi tetangga kami…<br />
<br />
Lantas Rasulullah keluar rumah dan bertanya,<br />
<br />
“Apakah kalian berbuat ini karena dasar kecintaan kepadaku?”<br />
<br />
“Duhai Rasulallah, tidaklah kami melakukan ini kecuali karena kecintaan kami kepadamu.” Jawab mereka.<br />
<br />
Rasulullah saw tersenyum seraya berucap, “Sungguh, hanya Allah yang tahu berapa besar kecintaanku kepada kalian.”<br />
<br />
Adapun yang kita lakukan sekarang dalam Perayaan Maulid Nabi tidak lain adalah seperti yang dicontohkan para Shahabat Rasulullah saw.<br />
<br />
Berupa Pembacaan Ayat Al-Quran, khususnya tentang perintah Allah untuk bershalawat kepada Rasulullah, kemudian sama-sama berdzikir dan bershalawat teruntuk Baginda Nabi Muhammad, kemudian membaca kitab-kitab susunan ulama salaf yang mengisahkan tentang kelahiran dan sanjungan terhadap Nabi Muhammad, baik itu Al-Barzanjiy, Ad-Diba’iy, ‘Azab, Simthud-Duror, Burdah, Dhiya-ul Laami’ dan lain-lain.<br />
<br />
Adapula kilas balik suasana dalam menyambut kedatangan Rasulullah saw. ketika hijrah, lantas ditutup dengan salah seorang berdoa kemudian diaminkan bersama-sama.<br />
Nah, dari sekian unsur-unsur di atas, yakni esensi perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. yang senantiasa digelar oleh sebagian besar kaum muslimin di berbagai negeri, adakah yang menyimpang dari syari’at???<br />
<br />
<br />
--------<br />
<i>dinukil dari<br />
Ceramah Al-Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Ahmad Bin Jindan Bin Syech Abubakar bin Salim<br />
dalam Jalsah Laylatul Arbi-a', Selasa, 13 Rabi'ul Awwal - 10 Maret 2009<br />
di Majlis Ta'lim - Pondok Pesantren - Panti Asuhan<br />
ALFACHRIYYAH<br />
Tangerang-Bante</i></span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-65851222849245655272010-12-07T00:49:00.000-08:002010-12-07T00:49:04.184-08:00Argumen Buruk Kaum Wahabi Tentang Tabarruk dan Tawassul<div style="text-align: justify;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig27ZYBGvqDi2aFrMN9JfUQ244CmRhEFFIqfEpRj5TZLoCxaY-piUwuKE9gFKdJTbmURWMGbme2pvsANBE2qqrpgzv5HtFw3yaFNa5ciimWV36xPQ-BkPG6uaQO73jqDWmXEmGAl8lRjE/s1600/images+%25286%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig27ZYBGvqDi2aFrMN9JfUQ244CmRhEFFIqfEpRj5TZLoCxaY-piUwuKE9gFKdJTbmURWMGbme2pvsANBE2qqrpgzv5HtFw3yaFNa5ciimWV36xPQ-BkPG6uaQO73jqDWmXEmGAl8lRjE/s1600/images+%25286%2529.jpg" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
</span></div><div></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><b><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!.</span></b></span><b><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
</span></b><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span"><u>Jawab:</u></span></span><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="font-size: 11pt;"><br />
</span></span><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span"><b>Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:</b></span><b><br />
</b><br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ</span></span><span dir="LTR"></span><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span>.</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
<span class="apple-style-span"><i>“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .</i></span><i><br />
</i><br />
<span class="apple-style-span">Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.</span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span"><b>Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:</b></span><b><br />
</b><br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<i><br />
<span class="apple-style-span">“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .</span><br />
</i><br />
<span class="apple-style-span">Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya <b>al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali,</b> disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.</span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span"><b>As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:</b></span><br />
<br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ</span></span><span dir="LTR"></span><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span>.</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<i><br />
<span class="apple-style-span">“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .</span><br />
</i><br />
<span class="apple-style-span">Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.</span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span"><b>Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:</b></span><br />
<br />
</span><span class="apple-style-span"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى</span></span><span dir="LTR"></span><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><span dir="LTR"></span>.</span></span><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
<span class="apple-style-span"><i>“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .</i></span><i><br />
</i><br />
<span class="apple-style-span">Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.</span></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<span class="apple-style-span">Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!</span><br />
<br />
</span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><b><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.</span></b></span><b><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
</span></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><u><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Jawab:</span></u></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.</span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">( Oleh: Kholilurrahman Abu Fateh)</span></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=332371658329"><span class="apple-style-span"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">http://www.facebook.com/note.php?note_id=332371658329 </span></span></a><span lang="EN-GB" style="font-size: 11pt;"></span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-9211610808369929612010-12-07T00:27:00.000-08:002010-12-07T06:53:23.110-08:00Detik-Detik Kelahiran Nabi Muhammad SAW<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzoWsjMxlrPhfrO7Tjug_krv_0YHUTh5jivJQfr9ayTknl96lbKchKc1myvwrceCknI2oGLr4kT0Lk4Fd96BWJqOGrlYv6lDMfDLDlYq6ECsLO3euXARJtRU5QMoviSKIcS7kalFE186A/s1600/muhammad_s_a_w_by_devilmaycryub.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzoWsjMxlrPhfrO7Tjug_krv_0YHUTh5jivJQfr9ayTknl96lbKchKc1myvwrceCknI2oGLr4kT0Lk4Fd96BWJqOGrlYv6lDMfDLDlYq6ECsLO3euXARJtRU5QMoviSKIcS7kalFE186A/s320/muhammad_s_a_w_by_devilmaycryub.jpg" width="320" /></a></div><div><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan, Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi "saksi penting" kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk. Rasu shallallahu 'alayhi wa sallam bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab; 'Para malaikat, wahai Rasul'. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah subhanahu wa ta'alaa wahai Rasul”. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam . bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah telah memberikan mereka tempat”.<br />
<br />
“Lalu siapa, wahai Rasu l?”, tanya para sahabat.<br />
<br />
Lalu Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nomor 160]</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><h1 style="margin: 0cm 0cm 0.0001pt; text-align: justify;"><u><span lang="EN-GB" style="color: #111111; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;">DETIK-DETIK MAULID NABI MUHAMMAD</span></u><span lang="EN-GB" style="color: #111111; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"></span></h1><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<br />
Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri ujung-ujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan dimana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahwa dunia yang telah rusak sedang menanti kedatangannya.<br />
<br />
Hingga pada suatu pagi.<br />
<br />
Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.<br />
<br />
<b>Tepat sesaat setelah sayyid Muththalib</b><span class="apple-converted-space"> </span>memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang tua yang mencari bayi laki-laki.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan, apa kepentingan anda mencari bayi laki-laki?”.<br />
<br />
“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun, sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk melihat bayi yang dimaksud.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang sayyid memang tidak pernah berpikir apa pun. Sebagai layaknya seorang kakek yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sehat wal afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan sayyid Muththalib, pingsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.<br />
<br />
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pingsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahwa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.<br />
<br />
Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.<br />
<br />
Demikianlah, akhir dari kisah pencarian pendeta-pendeta serta segenap agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad s.a.w. Pencarian atas apa yang diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahwa akan diutusnya nabi akhir zaman untuk meluruskan kembali aqidah-aqidah yang telah bengkok.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengelu-elukan kehadiran Nabi Muhammad s.a.w. ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’. (QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahwa ketika situasi sudah sangat rusak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain sebagainya.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekedar mengetahui, tapi mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.<br />
<br />
Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.<br />
<br />
Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.<br />
<br />
<b>Untuk kasus Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoritas adalah</b>kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kasus migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi s.a.w, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, maupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.<br />
<br />
Banyak sekali suku-bangsa yang percaya akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia. Semuanya menanti kedatangannya.<br />
<br />
<b>Sang nabi akhir zaman itu telah lahir</b>. Namun, sangat disayangkan, Allah s.w.t telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi kunci” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad s.a.w. hingga pada usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.<br />
<br />
Memang, kasus-kasus wafatnya para agamawan setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rekaman sejarah, banyak sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad s.a.w.—belum menikah dengan sayyidah Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap adanya nabi akhir zaman.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa setelah mendapatkan wahyu, sayyidah Khadîjah r.a.—bersama nabi—mendatangi pamannya, Waraqah bin Naufal, untuk meminta advis atas apa yang baru saja terjadi pada nabi. Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.<br />
<br />
Setelah Nabi Muhammad s.a.w. menceritakan semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Namûs yang diturunkan Allah s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika orang-orang mengusir nabi ini…”.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Waraqah tahu, bahwa yang menemui Nabi Muhammad s.a.w adalah Namûs, alias malaikat Jibril a.s., yang pernah menemui Nabi Musa a.s. dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad s.a.w. membacakan ayat al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata, ’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (yaitu al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. [QS. 46:30].<br />
<br />
Dan Waraqah tahu, bahwa yang ada di depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad s.a.w. tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke sekian kalinya, Allah s.w.t memanggil hambanya yang bisa menjadi “saksi spritiual” atas kenabian Muhammad s.a.w. Tapi, itulah, Allah s.w.t tentu memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.<br />
<br />
<b>Dengan wafatnya beberapa agamawan</b><span class="apple-converted-space"> </span>yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Karena realitas teologis memang membutuhkannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya bisa memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahwa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.<br />
<br />
Memang banyak ditemukan beberapa anak laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian. Menamakan Ahmad atau Muhammad karena orang tuanya sangat berharap anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah atau cara tersendiri untuk menentukan “validitas stempel” yang ada pada seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir zaman itu.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<b>Secara umum, bisa dikatakan bahwa kebanyakan</b><span class="apple-converted-space"> </span>para agamawan saat itu sudah mengetahui bahwa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahwa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, kemana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Saat beliau menemui seorang agamawan di Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa, maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”. Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu. Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd [monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq, yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?". Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
Para nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahwa bilamana datang seorang Rasul bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)<br />
<br />
Itulah manusia yang sangat tidak beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w. Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang penulis nukil pada permulaan di atas. Bahwa orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.<br />
<br />
Amin...!!!</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="color: #333333; font-family: Tahoma; font-size: 11pt;"><br />
<b>Disarikan dari beberapa buku, terutama kitab Syarah Al-Barzanji.<br />
(Disalin dari : Pesantren Virtual)</b></span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-13114710084619027272010-12-06T22:34:00.000-08:002010-12-06T22:34:09.327-08:00Asal Ibadah Adalah Haram, Tapi,,,,,,,,<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA82NxrGHivL5QxWkgAJSaOnxExjJaWJDlI2yOugzVFcWx8BNwEoeXMoRlD_pGHxRvjDyMySzC3Q5pWj-EXQEijKN_Wv3Gba0K10gIQywm9SVS1FOKnrp4BJayWSeGUrSubC0xTmviKOU/s1600/35456_181125375232128_100000040016247_672166_5803888_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA82NxrGHivL5QxWkgAJSaOnxExjJaWJDlI2yOugzVFcWx8BNwEoeXMoRlD_pGHxRvjDyMySzC3Q5pWj-EXQEijKN_Wv3Gba0K10gIQywm9SVS1FOKnrp4BJayWSeGUrSubC0xTmviKOU/s320/35456_181125375232128_100000040016247_672166_5803888_n.jpg" width="240" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;">Asal Ibadah haram. Itu benar adanya. Dan Qaidah tersebut ada di kitab Iilaamul-muwaqqi'in karangan Ibnul-qoyyim Aljawzy. Salah satu ulama besar yang menjadi panutan kaum salafi wahabi.<br />
<br />
Tapi permasalahannya adalah kita juga mesti baca kelanjutan penjelasannya, Ibadah seperti apa yg di maksud dalam Qa'idah tersebut. Ialah ibadah maghdlah (murni), seperti shalat, zakat puasa ibadah haji dll. Itu jelas kita semua telah sepakati haram untuk menambah apalagi mengurangi. <br />
<br />
Masalahnya bentuk ibadah (mendekatkan diri) itu kan tidak melulu maghdlah. Kita mengenal ada ibadah maghdhloh dan ada ibadah ghoiru maghdhloh.<br />
<br />
Mereka biasanya mengaburkan permasalahan dengan asumsi mereka bahwa jika bid'ah hasanah itu ada maka dikhawatirkan orang-orang akan menambah rokaat sholat shubuh. Suatu kekhawatiran yang sebenarnya sangat baik niatannya tapi cenderung membabi buta dalam aplikasinya.<br />
<br />
Sejak kapan para pecinta bid'ah hasanah yang senantiasa bersenandung sholawat dalam acara maulidan dan berdzikir dalam tahlilan menambah sholat shubuhnya menjadi lebih dari dua rokaat???<br />
<br />
Apakah orang yang menganggap sesat tahlilan dan maulidan telah memposisikan ibadah-ibadah yang terdapat didalamnya sebagai ibadah maghdloh yang setara kedudukannya dengan sholat fardhu, zakat dan puasa???<br />
<br />
jika jawabannya iya, maka silahkan saja tahlilan dan maulidan itu sesat bagi mereka, tapi tidak bagi orang-orang yang mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang ada didalamnya adalah ibadah ghoiru maghdloh. Jangan memaksakan kehendak lantaran ketidak tahuan dunkz.<br />
<br />
<br />
Penjelasan inilah yang senantiasa disembunyikan oleh kaum wahabi (atau dengan berhusnudzon mungkin mereka tidak tahu karena biasanya mereka hanya mengandalkan data jadi di dunia maya tanpa melihat tekstual kitab aslinya), lihatlah bagaimana mereka berani memotong penjelasan ulama untuk diarahkan ke arah penafsirannya untuk mengelabui publik di dunia maya, sangat jarang (bahkan saya belum pernah mendapati) mereka mendetailkan penjelasan akan kaidah ini jika sedang beradu hujjah. Terutama ketika menyerang amalan2 baik kelompok muslim lainnya diluar golongan mereka yang notabene meyakini keberadaan bid'ah hasanah, semisal tahlilan dan maulidan.<br />
<br />
<br />
Seharusnya jika mereka ingin fair mensosialisasikan budaya "ilmu sebelum beramal" maka mereka harus jujur terhadap penjelasan mendetail terhadap kaidah ini sebelum mereka membid'ahkan suatu amalan yang mereka belum fahami dalilnya.<br />
<br />
Sehingga sebenarnya mudah saja mematahkan hujjah kaum salafi wahabi jika mempermasalahkan amalan baik yang kita lakukan hanya semata-mata karena tidak dicontohkan Baginda Rasulullah saw, mereka akan pusing tujuh keliling lapangan golf jika kita bertanya balik kepada mereka apa dalil pelarangannya. Karena selain kaidah "asal ibadah adalah haram", dalam kaidah fiqh lainnya kita mengenal kaidah الترك لا يدل علي التحريم alias "segala sesuatu yang tidak dilakukan sama sekali tidak menunjukkan keharaman". Justru mengapa kaidah ini mereka tidak sosialisasikan???, entahlah daku bingung memikirkannya. <br />
<br />
Padahal jika kita ingin berfastabiqul khoiroot (berlomba-lomba dalam kebaikan) seharusnya kita tidak sempit berfikir dengan membid'ahkan/menyesatkan suatu amalan hanya karena tidak dicontohkan nabi/ shahabat. Walhal Baginda dan para shahabat tidak pernah mencontohkan suatu pesantren/ madrasah ataupun pengajian mingguan. Lantas apakah kita yang biasanya mengaji seminggu sekali disaat libur bekerja telah berbuat kesesatan hanya karena nabi dan shahabat tidak pernah mengkhususkan kajian ta'limnya dihari-hari khusus semisal hari minggu????<br />
<br />
wallahu a'lam bis showaab...</div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-88765397629955484922010-12-06T22:02:00.001-08:002010-12-07T06:49:25.455-08:00Benarkah Maulid Barzanji, Burdah, dan Diba'i Syirik?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfjkWnN6_HRFFQy0rHxuVtGeEoT6ZBTyAqCUb5e8EiEyQBnF6whf_V39O-8JGJOqXGO2UDAkQjiYXXHCxtPMgBHE8P9QlVQonhlLgbw4Xt_aMxG3O4p6EdVRgjUv98AQDcWbh-L3rMmLE/s1600/20177_1223895910432_1020004096_30557514_6624909_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfjkWnN6_HRFFQy0rHxuVtGeEoT6ZBTyAqCUb5e8EiEyQBnF6whf_V39O-8JGJOqXGO2UDAkQjiYXXHCxtPMgBHE8P9QlVQonhlLgbw4Xt_aMxG3O4p6EdVRgjUv98AQDcWbh-L3rMmLE/s1600/20177_1223895910432_1020004096_30557514_6624909_n.jpg" /></a></div><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB">Maulid al-Burdah, al-Barzanji atau ad-Daiba’i yang hampir setiap saat selalu di baca dan dilantunkan oleh sebagian warga di Indonesia kerap kali dinilai oleh orang-orang Wahhabi sebagai qashidah pujian terhadap Rasulullah yang 'keblabasan', karena di dalamnya tercatat ucapan-ucapan yang dinilai syirik terhadap Allah. Salah satu contohnya adalah qashidah sebagaimana berikut:</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="EN-GB"><br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">يَا مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA"><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">فَأَغِثْنِي وَأَجِرْنِي</span></span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">فِي مُلِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA"><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">يَا غِيَاثِ يَا مَلاَذِ</span></span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
“Wahai Rasulallah yang menyelamatkan dari Neraka Sa’ir, tolonglah aku dan selamatkanlah aku.<br />
Wahai penolongku, wahai tempat berlindungku di dalam segala perkara-perkara yang sulit.”<br />
Dua qashidah tersebut memberikan pengertian bahwa ad-Diba’i menyifati Rasulullah dengan sifat sebagai Mujir (penyelamat), Ghiyats (penolong) dan Maladz (tempat berlidung). Dan hal tersebut dianggap oleh mereka sebagai kata-kata yang menyekutukan Allah. Karena menurut mereka ketiga kata tersebut hanya layak di sematkan pada Allah dan bukan kepada makhluk.<br />
<br />
Sebelum mengetahui lebih dalam ketiga kata tersebut, harus difahami posisi antara Khaliq (Dzat pencipta) dan makhluq (yang di ciptakan) sebagai pijakan hukum apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah bentuk syirik kepada Allah atau tidak. Allah, sebagai sang Al-Khaliq, adalah Dzat yang dapat memberi manfaat dan madharat, sementara makhluk tidak mempunyai daya apa-apa untuk memberikan manfaat atau madharat kepada orang lain. Begitu juga, Allah al-Khaliq, dapat memberi petunjuk atau hidayah kepada makhluk, namun makhluk sebagai hamba lemah tidak dapat melakukannya. Hal ini yang dii’tiqadkan oleh segenap pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.</span><br />
<span lang="EN-GB"><br />
Manusia, termasuk Rasulullah dan lain-lain yang di sifati dengan kata mujir, ghauts dan maladz (semua mempunyai makna memberikan pertolongan atau perlindungan) adalah dalam kapasitas sebagai makhluk dan bukan sebagai Tuhan, Sang Khaliq Yang Maha Segalanya. Jadi, ada sekat jelas antara maqam (kedudukan) khaliq dan maqam makhluq.<br />
<br />
Sekedar contoh, jika kita minta pertolongan atau meminta perlindungan kepada seseorang karena kita sedang kesusahan, dirundung marabahaya, atau akan dicederai orang lain misalnya, apakah berarti kita telah musyrik atau menyekutukan Allah karena tidak meminta perlindungan langsung kepada Allah? Tentu jawabnya tidak setelah kita memahami antara kedudukan khaliq dan makhluq diatas!? <br />
<br />
Selanjutnya akan kita kupas ketiga kata tersebut:<br />
<br />
<b>1. Kata Mujir</b><br />
Lafaz mujir bukan termasuk Asma’ul Husna (Nama-Nama Allah yang Indah), karena nama tersebut tidak ada dalam 3 riwayat hadits tentang Asma’ul Husna yang ditulis oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir. Selain dari pada itu, al-Munawi berpandangan bahwa—sesuai pendapat yang kuat—membuat shifat atau nama (secara khusus) untuk Allah adalah tauqifi (langsung dari Rasulullah) sehingga tidak boleh membuatnya sendiri miskipun materi lafaznya ada, kecuali ada langsung dalam al-Qur’an atau hadits shahih. <br />
Mengenai kata Mujir, dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 88 Allah berfirman:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ</span><span dir="LTR"></span><span lang="EN-GB"><span dir="LTR"></span> <br />
<br />
“Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi (menyelamatkan) tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui.”<br />
<br />
Dalam Surat at-Taubah ayat 6 Allah berfirman:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبلِغهُ مَأْمَنَهُ</span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
“Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya.”<br />
<br />
Kedua ayat tersebut memberikan pengertian bahwasannya sifat mujir (penolong) tidak hanya disematkan pada Allah, akan tetapi selain Allah juga dapat mempunyai sifat tersebut. Artinya, kata mujir bisa saja disifatkan pada Allah atau selain Allah. Dan, bagi selain Allah seperti Rasulullah atau yang lain, pertolongan yang diberikan adalah kadar kapasitasnya sebagai manusia atau makhluk bukan sebagai khaliq, yaitu seperti memintakan syafaat umatnya supaya tidak disiksa oleh Allah atau syafa'at supaya mendapatkan ampunan dari Allah dan lain-lain. Sama halnya dengan kata ar-Rauf dan ar-Rahim yang juga di sematkan pada Rasulallah, selain kedua kata tersebut juga termasuk asma'ul husna bagi Allah. Dan keduanya mempunyai sekat yang jelas antara Tuhan dan makhluk.<br />
( Mengenai pembahasan memohon syafa'at setelah Rasulullah wafat, lihat secara khusus dalam kitab At-Tahdzir 'an al-Ightirar bima Ja'a fi Kitab al-Hiwar hal 141 dengan di sertai dalil-dalilnya yang kuat. <br />
Hal ini merupakan bantahan terkait dengan tuduhan aliran Wahhabiyyah – salah satunya adalah Abdullah bin Mani' pengarang kitab Hiwar ma'a al-Maliki- bahwa memohon syafaat Rasulallah setelah beliau meninggal adalah termasuk perbuatan syirik ).<br />
<br />
Sayyid Hasyim ar-Rifa'i saat menjelaskan kemampuan Rasulullah dalam memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan para manusia (dalam shalawat Nariyyah) mengatakan bahwa memenuhi berbagai kebutuhan dan menghilangkan kesusahan adalah Allah yang dapat melakukannya dengan tanpa bimbang sama sekali kecuali orang kafir dan orang yang bodoh. Sedangkan menisbatkan pekerjaan tersebut kepada Rasulullah adalah nisbat majazi (nisbat yang tidak haqiqi atau dalam ilmu balaghah di sebut majaz aqli). <br />
<br />
<b>2. Kata Ghiyats</b><br />
Asma ghiyats (al-Mughits) banyak diakui sebagai salah satu sifat Rasulullah. Meskipun Allah juga mempunyai asma ghauts (al-Mughits) dan tercatat sebagai Asma’ Husna dalam satu riwayat. (Fatawi Haditsiyyah hlm. 204. Darul Fikr.)<br />
<br />
Artinya, sebagaimana Allah yang menyandang sifat ghauts, selain Allah seperti Rasulullah atau selainnya juga bisa menyandang sifat tersebut, namun dalam koredor kapasitasnya sebagai seorang makhluq. <br />
Dengan begitu, sifat ghauts yang dimiliki Rasulullah adalah sifat menolong dan membantu insan lain dari segala kesusahan dan lain-lain dan hanya sebatas yang dimampuni oleh Rasulullah, seperti memintakan syafa'at kepada Allah agar supaya orang-orang tertentu diampuni, diselamatkan dari siksa api neraka, derajatnya di tinggikan dan lain-lain.<br />
Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id juz 10/159 dan ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir disebutkan:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">لاَ يُسْتَغَاثُ بِى إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ</span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
“Aku tidak dibuat untuk itighatsah, tapi yang dibuat istighatsah adalah Allah.”<br />
<br />
Hadits ini kerap sekali di buat dalil tentang keharamannya melakukan istighatsah (meminta tolong) kepada Rasulallah oleh mereka orang-orang yang ingkar terhadap legalnya beristighatsah, namun membuat dalil hadits di atas sebagai pelarangan adalah kesalahan, karena jika yang di maksudkan adalah haram beristighatsah kepada Rasulullah secara mutlak, niscaya akan bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh para shahabat yang juga melakukan istighatsah, bertawassul dan memohon do'a kepada beliau. Dan Rasulallah melayani dengan senang hati. Maka dari itu, hadits diatas butuh penta'wilan dan penjelasan.<br />
<br />
Menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal. 188, sabda Rasulallah tersebut bertujuan menetapkan hakikat tauhid dalam pondasi i'tikad (aqidah) yang sebenarnya, yakni bahwasannya al-Mughits secara hakikat adalah Allah, sementara hamba hanya berkapasitas sebagai perantara dalam hal yang dimaksud. Atau Rasulullah dalam hadits diatas bermaksud memberi pengertian kepada para shahabat agar tidak meminta kepada hamba tentang sesuatu yang tidak mampu di lakukannya, seperti memasukkan ke dalam syurga, selamat dari api neraka atau menanggung mati husnul khatimah.<br />
<br />
Sebagai bukti bahwa makhlukpun dapat di sifati mughits adalah dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 15 disebutkan berikut:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA"><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ</span></span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu ada dua laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya dan matilah musuhnya itu.” <br />
<br />
Dalam hadits shahih tentang doa istisqa’ (meminta hujan) yang masyhur diriwayatkan oleh Abu Dawud (no 988), Ibnu Majah (no 1260), al-Hakim (no 1226), al-Baihaqi (no 6230), dan lain-lain disebutkan:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا</span><span dir="LTR"></span><span lang="EN-GB"><span dir="LTR"></span> <br />
<br />
“Wahai Allah, berilah kami hujan yang dapat menolong.”<br />
<br />
Hadits doa meminta hujan tersebut menggunkan kata “mughits” (hujan yg memberikan pertolongan) serta yang mengajarkan adalah Rasulullah.<br />
<br />
<br />
<br />
<b>3. Kata Maladz</b><br />
Maladz artinya, Rasulullah merupakan ghiyats bagi orang-orang yang meminta perlindungan atau menjadi tempat berlindung saat Allah sedang murka. <br />
Pengertian kata ini juga sama dengan 2 kata di atas, artinya Rasulullah mampu melindungi sekedar kapasitas kemampuan beliau. Termasuk perlindungan Rasulullah di akhirat adalah ketika para makhluk merasa keberatan dan kepanasan di padang makhsyar, yaitu supaya semua makhluk sesegera mungkin dihisab oleh Allah (syafa‘atul ‘uzhma atau maqam mahmud).<br />
Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Bukhari, dalam Shahih-nya:<br />
<br />
</span><span dir="RTL" lang="AR-SA">قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزَالُ</span><span dir="LTR"></span><span lang="AR-SA"><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ فَبَيْنَا هُمْ</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى</span><span dir="LTR"></span><span dir="LTR"></span> <span dir="RTL">اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ</span></span><span lang="EN-GB"><br />
<br />
“Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya matahari pada Hari Kiamat telah dekat sehingga keringat manusia akan mencapai separuh telinga. Pada saat itu mereka meminta tolong (ghauts)kepada Adam, kemudian kepada Musa, dan terakhir kepada Muhammad Saw.” <br />
<br />
Itulah jawaban yang harus disampaikan, karena ucapan para penyair yang menulis qashidah mada’ih an-nabawiyyah (puji-pujian Nabi) seperti al-Barzanji, ad-Diba'i dan al-Bushiri dalam al-Burdah adalah sudah benar adanya dan tidak menyelisih dari ajaran Rasulullah. <br />
Selain itu, mereka juga muslim taat yang sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang berbau syubhat dan syirik. Apakah penyair-penyair di atas sedemikian bodoh dan hina di mata mereka?! Demi Allah, mereka adalah orang soleh!</span></div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-17691721730463936812010-12-05T15:01:00.000-08:002010-12-05T15:01:01.505-08:00Hukum Islam Ada 5, dan Bid'ah Tidak Termasuk di Dalamnya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyIm5iogy0CXqISDob23xtRi0NxZ0hH54GVOHb1eaJ06SySdivHjq4f6q-5TyDvZgpwPD9b3JgeYdTZFdQbAJhgEzX1ureCy8kXLk-EIWfZcJOVllth64ujyemPyjHNBuwoSiHjgMQrWc/s1600/contoh-bidah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyIm5iogy0CXqISDob23xtRi0NxZ0hH54GVOHb1eaJ06SySdivHjq4f6q-5TyDvZgpwPD9b3JgeYdTZFdQbAJhgEzX1ureCy8kXLk-EIWfZcJOVllth64ujyemPyjHNBuwoSiHjgMQrWc/s320/contoh-bidah.jpg" width="288" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bacalah dengan cermat dan hati yang lapang, tulisan singkat ini..<br />
<br />
Hendaknya kalian tahu bahwa sunnah menurut ulama hadits adalah sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketetapan). Menurut Fuqaha’ (ahli Fiqh), sunnah adalah salah satu dari status hukum Islam, yang apabila mengerjakannya mendapat pahala dan apabila meninggalkanya tidak apa-apa (tidak berdosa), kadang disebut mandub juga nafilah.<br />
<br />
Hukum Islam sendiri adalah 5 : Wajib, Sunnah (Mandzub/Mustahab), Mubah (Jaiz), Makruh dan Haram.<br />
<br />
Sunnah Rasulullah (perbuatan, perkataan, taqrir) tidak serta status hukumnya menjadi wajib, tetapi ada yang sunnah (mandub/mustahab) tergantung bentuk anjurannya dan konsekuensinya. InsyaAllah kalian paham, bahwa apa yang berasal dari Rasul tidak serta merta wajib bagi kalian.<br />
<br />
Demikian juga apa yang dinamakan bid’ah, bid’ah bukanlah status hukum Islam (sekali lagi bid’ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk sesuatu yang berlawan dengan sunnah.<br />
<br />
Kalau Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan<br />
Kalau Bid’ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.<br />
<br />
Dari sini, semoga paham maksud dari istilah “berlawanan”. Maka, sesuatu yang bukan berasal dari Rasul ini, haruslah di tinjau dan dikaji apakah sesuai dengan Sunnah ataukah tidak. Bukan serta merta ditolak begitu saja kemudian di masukkan kepada salah satu status hukum Islam yaitu status haram.<br />
<br />
Jika langsung dimasukkan kepada status hukum haram, nantinya akan absurd dalam memahaminya dan bingung terus-menerus seperti sebagian orang jahil. Karena kalau langsung dimasukkan kepada status hukum haram dan sisi lain mengatakan “berlawan dengan sunnah” maka jadinya seperti ini :<br />
<br />
“Bid’ah (Haram)” VS “Sunnah (Wajib)”. Karena lawan dari haram adalah wajib, dan pemahaman seperti ini bak otak yang terbalik. Sedangkan apa yang berasal dari Rasul (perbuatan/perkataan/taqir) tidak selalu dimasukkan kedalam status hukum wajib.<br />
<br />
Oleh karena itu, sesuatu perkara baru (bid’ah) atau lawan dari yang berasal dari Rasul (sunnah) harus diklasifikasikan status hukumnya.<br />
<br />
Yang mana nantinya ada yang masuk pada status hukum wajib, mandub, mubah, makruh dan haram. Istilah seperti ini telah diajarkan oleh al-Imam Shulthanul Ulama Syaikh ‘Izzuddin Abdissalam asy-Syafi’i untuk menyederhanakan memahami bid’ah. Sehingga dikenal istilah ;<br />
<br />
<b>1. Bid’ah Wajibah </b>: bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum wajib, seperti : menyibukkan diri dengan ilmu nahwu sebab dengannya bisa memahami Kalamullah dan Sabda Nabi, hal ini tergolong wajib karena dalam rangka menjaga syariat Islam, sebab apa jadinya jika tidak paham nahwu, maka orang-orang jahil akan berbicara secara serampangan.<br />
<br />
Contohnya lainya seperti : menjaga pembendaharaan kata asing al-Qur’an dan as-Sunnah, pembukuan disiplin ilmu-ilmu ushul, perkataan jahr wa ta’dil dalam pembahasan ilmu hadits.<br />
<br />
<b>2. Bid’ah Mandubah</b> ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum sunnah/mandub, seperti : membangun madrasah-madrasah, perkataan-perkataan yang mengandung hikmah seperti tashawuf, perkataan yang bisa menyatukan kaum Muslimin, shalat jama’ah tarawih, Maulid Nabi dan sebagainya.<br />
<br />
<b>3. Bid’ah Mubahah</b> ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum mubah, seperti : bersalaman setelah shalat subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.<br />
<br />
<b>4. Bid’ah Makruhah</b> ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum makruh, seperti : sekedar kumpul-kumpul di kediaman orang meninggal, menghiasi masjid dengan berlebihan dan lain sebagainya<br />
<br />
<b>5. Bid’ah Muharramah</b> ; bid’ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah tentang penetapan status hukum haram, seperti : pemikiran Qadariyah, jabariyah, murji’ah, mujassimah (contohnya : Wahabiyah, Karramiyah dan sejenisnya)<br />
<br />
Jika perkara baru tersebut sesuai dengan sunnah maka itu baik (hasanah) dan status hukumnya bisa jadi sunnah, bahkan hingga wajib.<br />
<br />
Namun, jika sesuatu perkara baru bertentangan dengan sunnah maka itu buruk (qabihah) dan status hukumnya bisa jatuh pada status hukum makruh bahkan haram.<br />
<br />
Semoga dengan pemaparan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang benar dalam memahami bid’ah dan sunnah. Dan sekali lagi bid’ah itu bukan status hukum, ingat ini.<br />
<br />
Bahkan ada sesuatu yang dibenci tapi halal, yaitu thalaq (perceraian). Sangat tidak mungkin kalau karena disebabkan dibenci kemudian langsung dimasukkan kedalam status hukum haram. Jadi pemahaman-pemahaman seperti ini atau sejenisnya adalah benar-benar absurd.<br />
<br />
Wallahu A'lam.<br />
<br />
(tulisan ini disadur dari Group WAJIB, SUNAH (MANDUB), MUBAH, MAKRUH DAN HARAM) </div>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-69534555902388875212010-10-01T09:49:00.000-07:002010-12-06T21:58:21.212-08:00Cara Peraya’an Maulid Bid’ah kah…?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2MRZibOMMGq12y-6jtoO9TwXT_WnoWMZULKcyU5OhGM4QauRrj26Gl0zYGKxtqwA75c5cfy0l8t9I0EEjATfQdnvKHRWeu1Cer_NAnEFeFIUyeRkuoUOcUmPgU9-n21Ln8w7Vrc39cDk/s1600/pidato+SBY.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2MRZibOMMGq12y-6jtoO9TwXT_WnoWMZULKcyU5OhGM4QauRrj26Gl0zYGKxtqwA75c5cfy0l8t9I0EEjATfQdnvKHRWeu1Cer_NAnEFeFIUyeRkuoUOcUmPgU9-n21Ln8w7Vrc39cDk/s1600/pidato+SBY.jpg" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://alqasam.blogsome.com/images/Mohamed_PBUH_by_samirmalik.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><br />
</a></div><span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Kita mengistimewakan hari lahirnya Rasulullah saw, sebagaimana beliau saw mengistimewakan hari diselamatkannya Nabi Musa as dari kejaran Fir’aun. Nabi berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, hari di mana Nabi Musa diselamatkan.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abu Qatadah, seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin?” Maka beliau saw menjawab: “Fiihi wulidtu wafiihi unzila alayya.”<br />
“Di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula aku diturunkan wahyu Al Qur’an.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Ahmad). (Dalam Shahih Muslim 8/52).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Mungkin anda bertanya, mengapa dalam perayaan maulid kita tidak berpuasa seperti yang dicontohkan oleh Rasul saw saja, tetapi malah makan-malam dan bergembira dengan membaca syair-syair pujian yang disertai alunan rebana dan lain-lain?<br />
Jawabannya adalah, puasa merupakan salah satu cara terbaik untuk mengenang kelahiran Rasulullah saw. Dan puasa sendiri adalah ibadah murni yang akan mendapat pahala jika kita mengamalkannya secara ikhlas dan benar.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
Tetapi yang menjadi tujuan dari puasa Rasulullah pada hari itu adalah untuk mengenang dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada beliau saw.<br />
Karena itu, tidak ada alasan untuk melarang manusia melakukan bentuk-bentuk peringatan kelahiran Nabi saw dengan cara lain, selama hal itu dibolehkan dalam agama dan tidak berbentuk maksiat.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Sedangkan yang terpenting dalam hal ini adalah niat dan tujuan dari perayaan itu, bukan medianya semata. Karena itu, kalau kita perhatikan maka akan kita temukan berbagai macam cara umat Islam dalam memperingati hari kelahiran Nabi saw sesuai dengan kondisi dan tradisi masing-masing.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Di antara mereka ada yang dengan cara menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim, berpuasa, melantukan syair-syair pujian kepada Nabi saw, dan bersedekah makanan kepada tetangga dan kerabatnya.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
Di antara sekian cara ini, yang paling terkenal di Indonesia adalah mengadakan pembacaan kitab maulid dan pengajian dengan serangkaian acaranya. Inilah yang dilakukan sebagian umat Islam di seluruh pelosok dunia dari dahulu hingga sekarang.<br />
Hal lain yang sering dipermasalahkan dan diungkit-ungkit adalah tentang iringan rebana dan syair kasidah sebagai pelengkap acara maulid.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Seperti biasa, mereka mengatakan, itu adalah hal bid’ah yang wajib dihilangkan karena mengotori syariat Islam. Sebelum kita bahas lebih lanjut, marilah kita tengok sejarah para sahabat di masa Rasulullah saw masih hidup.<br />
Kala itu, berita hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah telah tersebar luas. Para sahabat yang berada di Madinah tak kuasa menahan rasa rindu kepada Rasulullah saw. Setiap hari mereka menanti Nabi saw di tapal batas kota Madinah, akhirnya, saat yang dinanti-nanti pun tiba.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
Rasulullah saw bersama Abu Bakar ra memasuki kota madinah dengan selamat. Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, mereka menangis bahagia menyaksikan kekasih yang dirindukan telah berada di hadapan mata.<br />
Dengan penuh cinta, wanita dan anak-anak pun menaati rebana dan melantunkan syair indah penuh makna yang abadi sepanjang masa. Dengan meriah mereka bersyair, “Thala’al badru ‘alainaa.. min tsaniy yatil wadaa’.. Wa jabasy syukru ‘alainaa.. Maa da’aal lillahidaa’..”<br />
(Telah terbit bulan purnama.. Menyinari kami dari Bukit Wada’.. Maka kita wajib bersyukur.. Karena tibanya sang da’i yang menyeru ke jalan Allah..).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Sepanjang hidupnya, Rasulullah saw tidak pernah melarang tabuhan rebana dan senandung syair yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangannya itu.<br />
Bahkan ketika Rasulullah saw tiba dari perang Tabuk, warga Madinah kembali menyambutnya dengan tabuhan rebana dan lantunan syair tersebut di atas. (Lihat Siratul Halabiyyah juz 3: 99, Zadul Ma’ad juz 1: 1297, Fathul Bari juz 8: 469).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
Dalam hadist lain juga diriwayatkan, bahwa ketika Nabi saw tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam datang menemui beliau saw sambil membawa rebana dan berkata:<br />
“Wahai Rasulullah, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh rebana dan menyanyi di hadapanmu”. Rasulullah saw menjawab: “Jika kamu telah bernazar maka tunaikanlah nazarmu itu, tapi jika tidak maka jangan.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Wanita itupun menunaikan nazarnya, ia menyanyi dan menabuh rebana di hadapan Nabi saw cukup lama. Satu demi satu sahabat Abu Bakar, Utsman, dan Ali ra datang menemui Nabi saw, budak wanita itu tetap menabuh dan menyanyi dan Nabi mendengarkan.<br />
Ketika Umar ra tiba, wanita itu berhenti dan segera menyembunyikan rebananya dan mendudukinya, sebab ia takut kepada Umar ra yang terkenal keras dan tegas. Setelah keempat sahabat itu berkumpul di hadapan Nabi saw, beliau bersabda:<br />
“Sesungguhnya setan pasti takut kepadamu hai Umar, ketika aku duduk, wanita itu menabuh rebana. Kemudian Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana, ketika Ali masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ustman masuk ia tetap menabuh rebana.<br />
Akan tetapi, ketika kamu masuk hai Umar, wanita itu segera membuang rebananya.” (HR. Tirmidzi).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Membaca kedua hadist di atas dapat kita ambil kesimpulan. Pertama, rebana dan lantunan syair pujian sudah ada pada zaman Rasulullah saw. Kedua, Rasulullah saw tidak pernah melarang menabuh dan menyanyi (selama tidak menimbulkan syahwat dan fitnah) di masa hidupnya.</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'trebuchet ms',geneva;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"> Jadi, walau mungkin Rasulullah saw tidak pernah melakukan kedua hal itu selama hidupnya, tetapi karena ketika beliau mengetahui kedua hal itu tidak pernah melarangnya,<br />
maka hukumnya menjadi Sunnah Taqririyah (Sunnah karena Rasulullah melihat atau mendengar sesuatu yang dikerjakan para sahabat, tetapi beliau tidak melarangnya).</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">Dengan demikian, maka jelaslah permasalahan seputar rebana dan syair pujian kepada Nabi Muhammad saw yang sering kita mendengar bahkan melakukannya adalah boleh.</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;">fahami dan renungkan jangan menelan faham ustadz-ustadz jahil …</span><br />
<span style="font-family: 'trebuchet ms',geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'trebuchet ms',geneva;"><a href="http://albayan.hadithuna.com/2008/07/21/42/">http://albayan.hadithuna.com/2008/07/21/42/</a></span>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-60101214963161431832010-10-01T09:36:00.000-07:002010-10-01T09:36:53.516-07:00Anjuran Para Ulama Salaf Dan Khalaf Untuk Bermaulid<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://rw03setu.files.wordpress.com/2010/02/maulid-nabi.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="http://rw03setu.files.wordpress.com/2010/02/maulid-nabi.png" width="320" /></a></div><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Dewasa ini umat Islam terpecah dalam berbagai aliran dan perbedaan pendapat yang saling menyalahkan. Begitu juga telah terjadi perbedaan yang tak asing lagi.<br />
Bagi orang-orang yang pengetahuannya tentang ilmu agama kurang maka semua permasalahan itu seharusnya diserahkan kepada para ulama yang lebih dalam pengetahuannya tentang agama dan telah terbukti kesahihannya dari zaman ke zaman.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
Allah swt berfirman:</span><br />
<div style="background-color: purple;"><strong><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور </span></strong></div><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><strong>“Se</strong>sungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir/35: 28).</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Dan Rasulullah saw bersabda:</span><br />
<div style="background-color: purple;"><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><strong>إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورث دينارا ولادرهما إنما ورثوا علما</strong> </span></div><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Sehubungan dengan ayat dan hadist di atas ini, Allah sendiri telah menyuruh kepada kita agar bertanya kepada ulama (ahli zikir) yang berilmu, bertakwa, dan mengamalkan ilmunya jika terjadi masalah atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Firman Allah:</span><br />
<div style="background-color: purple;"><strong><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون</span></strong></div><span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7).</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Untuk itu, agar permasalahan seputar maulid nabi ini lebih jelas, maka perhatikanlah pendapat para ulama yang telah banyak jasanya dalam mengembangkan agama Islam di bawah ini.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">1.”Andaikata aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka akan aku dermakan semuanya untuk menyelenggarakan pembacaan maulid Rasul.” (I’anathuth Thalibin 3/255).<br />
Ini adalah perkataan Imam Hasan Al Bashri. Beliau adalah tokoh ulama generasi Tabi’in yang agung. Beliau lahir di Madinah 2 tahun sebelum wafatnya khalifah Umar bin khattab ra dan meninggal pada bulan Rajab tahun 116 H dalam usia 89 tahun.<br />
Beliau adalah seseorang yang telah bertemu dengan lebih dari 100 sahabat Nabi Muhammad saw. Ucapan Imam Hasan Al Bashri ini membuktikan kalau pada masa tabi’in telah biasa diadakan perayaan maulid nabi Muhammad saw.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">2. “Barangsiapa mempersiapkan makanan, mengumpulkan teman- teman, menyalakan lampu, mengenakan pakaian baru, memakai farfum dan menghias dirinya untuk membaca dan mengagungkan maulid Rasul,<br />
maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkannya bersama para Nabi, orang-orang yang berada dalam barisan pertama dan dia akan ditempatkan di Illiyin yang tertinggi.” (I’anathuth Thalibin 3/255).<br />
Ini adalah ucapan Syekh Ma’ruf Al Karkhi. Beliau adalah seorang sufi terkemuka yang wafat pada tahun 200 H. Beliau selalu berprasangka baik kepada sesama muslim.<br />
Kalimatnya juga membuktikan kalau para salaf telah melakukan perayaan maulid Nabi pada abad kedua Hijriyah, walau bentuk dan caranya mungkin berbeda dengan yang terjadi sekarang ini.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">3. “Barangsiapa mendatangi sebuah tempat dimana di sana dibacakan Maulid Nabi, maka dia telah mendatangi sebuah taman Surga.<br />
Sebab tujuannya mendatangi tempat itu tiada lain adalah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah saw, sedangkan Rasul saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga”.” (I’anathuth Thalibin 3/255).<br />
Ini adalah pernyataan Syekh Sirri As Saqathi. Beliau adalah murid Syekh Ma’ruf Al Karkhi dan menjadi guru serta paman dari Syekh Junaid Al Baghdadi. Beliau terkenal gigih dalam beribadah kepada Allah swt. Beliau wafat pada tahun 253 H.<br />
Pernyataan ini beliau sampaikan setelah mendalami Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad saw serta mengamalkannya dengan penuh kesabaran.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">4. “Barangsiapa menghadiri maulid Rasul dan mengagungkan kedudukannya, maka dia telah sukses dengan keimanan.” (I’anathuth Thalibin 3/364). Ucapan ini disampaikan oleh Imam Junaid Al Baghdadi, yang dikenal sebagai pemimpin para sufi yang wafat pada 297 H.<br />
Beliau adalah seseorang yang sangat tekun belajar dan beribadah, sehingga dalam usia 20 tahun telah mendapat kepercayaan untuk menjadi mufti.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">5. “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi saw akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati hari kelahiran Isa as, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta an penghormatan kepada Nabi saw.<br />
Allah swt akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaannya kepada Nabi mereka. Bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhajus Salaf Fi Fahmin Nushush Bainan Nadhariyyah Wat Tathbiq: 399).<br />
Ini adalah perkataan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah ulama besar yang hidupnya dihabiskan untuk ilmu, ibadah dan perjuangan. Beliau lahir pada 10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat pada 22 Dzul Qa’idah 728 H.<br />
Beliau adalah seorang ulama yang guru, murid dan karyanya sangat banyak. Di antara kitab karangannya adalah Al Fatawa yang terdiri dari 38 jilid.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">6. “Barangsiapa mengumpulkan teman-temannya, mempersiapkan hidangan, menyediakan tempat, melakukan kebaikan untuk maulid Nabi, dan semua itu menjadi sarana pembacaan maulid Rasul,<br />
maka di hari kiamat kelak Allah akan membangkitkannya bersama-sama orang shidiq, para syuhada dan kaum shalihin. Dan kelak ia akan berada di surga-surga yang penuh kenikmatan.<br />
Ini adalah pendapat pakar sejarah dan ulama terkemuka dalam dunia Islam, Syekh Abdullah bin As’ad Al Yafi’i, pengarang kitab Raudhur Rayyahin. Beliau wafat pada 768 H.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">7. “Tidaklah sebuah rumah muslim dibacakan Maulid Nabi sadanya, melainkan Allah singkirkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, berbagai jenis bencana, kebencian, kedengkham, pandangan buruk, serta pencurian dari penghuni rumah itu.<br />
Dan jika ia meninggal dunia, maka Allah akan memberinya kemudahan untuk menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Dan dia kelak akan berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.” (I’anathuth Thalibin 3/255).</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Inilai pernyataan ulama besar yang lahir pada bulan Rajab 849 H dan wafat pada tahun 911 H, Al Hafizh Abu Bakar bin Abdur Rahman As Suyuthi. Beliau terkenal sebagai seorang mujjadid (pembaharu Islam) pada abad ke 9 H.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
Keluasan ilmunya telah terbukti dan karya-karyanya sangat banyak sehingga mencapai 400 buku. Selain hafal Al Qur’an, beliau juga hafal di luar kepala kitab-kitab besar. Di antaranya adalah kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi dan juga kitab Al Umdah.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">Demikianlah di antara perkataan para tokoh ulama yang menganjurkan dan membenarkan perayaan dan pembacaan maulid Nabi Muhammad saw.</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-family: trebuchet ms,geneva; font-size: small;">fahami .. dan renungkan ..! jangan menelan faham ustadz-ustadz jahil </span>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2745384047347127121.post-47191438795912766472010-09-17T08:28:00.000-07:002010-09-30T04:50:49.926-07:00Download E-book Islami Ahlussunnah Wal Jama'ah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEin64DK-njEwOEl1cXupEFlqgfHOkTAMMQuellhEsnBrx2mL2-e2WMsHe87PKvgRfprov8LjLRrnRgoupHxVNWDpbSNUA1dUWSjH3kuPlchbfqDhHkAQVPQ_8GafpzSi9OVZqmcuQs8y9o/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEin64DK-njEwOEl1cXupEFlqgfHOkTAMMQuellhEsnBrx2mL2-e2WMsHe87PKvgRfprov8LjLRrnRgoupHxVNWDpbSNUA1dUWSjH3kuPlchbfqDhHkAQVPQ_8GafpzSi9OVZqmcuQs8y9o/s1600/images.jpg" /></a></div><div><br />
</div><br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-insideh: .5pt solid windowtext; mso-border-insidev: .5pt solid windowtext; mso-padding-alt: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-table-layout-alt: fixed; mso-yfti-tbllook: 480;"><tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;"> <td style="background: #A0A0A0; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">No<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="background: #A0A0A0; border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Judul E-book<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="background: #A0A0A0; border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Format<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="background: #A0A0A0; border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Size<o:p></o:p></span></b></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://www.box.net/shared/p1e3zci9n3">Tanya Jawab Bersama KH. Bisri Musthofa</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">.exe<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1,7 Mb<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 2;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/10015139/ALLAHADATANPATEMPAT.exe.html">ALLAH ADA TANPA TEMPAT – Mewaspadai Aqidah Wahabi. (kumpulan notes ust. Kholil abou fateh)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">.exe<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 3;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">3.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://www.ziddu.com/download/10341559/FatwaIsuPenting.rar.html">Fatwa Isu Penting, Oleh Habib Salim bin Jindan (Membahas perkara kesesatan Syi’ah)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">4,7 Mb<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 4;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">4.<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://www.box.net/shared/iybjkzxnth">Masalah Tarawih – KH. Siradjuddin Abbas (dari buku 40 Masalah Agama)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1,6 Mb<o:p></o:p></span></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 5;"> <td colspan="4" style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 426.1pt;" valign="top" width="568"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">EBOOK SYAHAMAH (dari daarulfatwa.org.au)<o:p></o:p></span></b></div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 6;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Kitab_Al-%5EAqidah_print3.pdf">AQIDAH AHLUSSUNAH WALJAMAAH</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 7;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-firqah_Al-Najiyah.pdf">GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 8;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">3<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Al-Shar%5Ey.pdf">MEWASPADAI AJARAN-AJARAN SESAT DI LUAR AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (Jilid I)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 9;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">4<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Mukhtassar_Al-Harari.pdf">Mukhtashar 'Abdillah al Harari al Kafil bi 'Ilmad-Din ad-Dlaruri (Ringkasan 'Abdullah al Harari yang memuat ilmu agama yang pokok)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 10;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">5<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Rad_Ala_Ibn-Taymiyah.pdf">AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 11;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">6<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/01-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf">RISALAH PERINGATAN TENTANG GOLONGAN - GOLONGAN SESAT</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 12;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">7<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/02-Tahtheer_Firaq_el-3.pdf">MEWASPADAI BAHAYA GOLONGAN SESAT</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 13;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">8<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Nahj_Al-Sawi.pdf">AN-NAHJ ASSAWIYY</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 14;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">9<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Isra_wal_Mi%5Eraj.pdf">Memperingati Isra' Mi'raj</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 15;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">10<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Mawlid-001.pdf">KADO MUHAMMAD shallallahu 'alayhi wasallam (Risalah Maulid Nabi)</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 16;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">11<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/content/view/1354/153/">Malam Nishfu Sya'ban</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 17; mso-yfti-lastrow: yes;"> <td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 24.9pt;" valign="top" width="33"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">12<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 313.5pt;" valign="top" width="418"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><a href="http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Tahtheer_Min_Hizbul_Ikhwan.pdf">BAHAYA HIZBUT TAHRIR</a><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 45.0pt;" valign="top" width="60"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: Arial; font-size: 10pt; line-height: 150%;">PDF<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; width: 42.7pt;" valign="top" width="57"><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div></td> </tr>
</tbody></table>Adminhttp://www.blogger.com/profile/11388424840554646824noreply@blogger.com0